e-book

  • makalah

Minggu, 05 Juni 2016

Makalah Islam dan Organisasi Sosial Keagamaan



ISLAM DAN ORGANISASI SOSIAL KEAGAMAAN
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Studi Islam II


 Oleh :
KELOMPOK 11
SITI MARYAM (11151020000069)
DHIMAZ ARYO P.  (11151020000085)
AYU GUSTIDA FAJRIN (11151020000080)
NURJANNATUN THAJRI     (11151020000103)

Dosen  Pembimbing :  Siti Nadroh , M.Ag

PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2016


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT  berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Islam dan Organisasi –organisai Sosial Keagamaan”. Dalam makalah ini kami membahas sedikit tentang sejarah lahirnya organisasi-organisasi islam tersebut dan bagaimana pengaruh ajaran islam bagi pembangunan NKRI. Selain itu kami juga menyertakan lahirnya partai politik islam sejalan dengan strategi pemerintahan.
Kami sudah berusaha sebaik mungkin dalam mengerjakan makalah ini, namun mustahil apabila makalah yang kami buat tidak ada kekurangan maupun kesalahan, maka dari itu  kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami butuhkan guna perbaikan karya selanjutnya di kesempatan mendatang.
Terima kasih


Penulis             







           

           
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...........................................................................................  2
DAFTAR ISI........................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
A.     Latar belakang............................................................................................... 4
B.     Rumusan masalah .......................................................................................... 4
C.     Tujuan penulisan ........................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN
A.     Pengertian Islam ............................................................................................ 5
B.     Pengaruh Ajaran Islam Bagi Lahirnya Organisasi Sosial Keagamaam............... 5
C.     Sumbangan Ajaran Islam Bagi Perkembangan NKRI.................................... 14
D.     Partai Politik dan Strategi Pemerintahani....................................................... 18
BAB III PENUTUP
A.     Kesimpulan ................................................................................................. 25
B.     Saran .......................................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA









BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Tulisan ini berangkat dari kenyataan bahwa agama, dengan segala ajaran dan organisasi-organisasinya, mempengaruhi kehidupan manusia. Sejak dahulu kala, bahkan sejak manusia pertama kali memulai kehidupan di muka bumi hingga hari ini, ketika manusia telah sampai pada suatu fase kehidupan yang kita sebut sebagai zaman post-moderen.
Dari penelaan singkat terhadap bahan-bahan tercetak yang kami peroleh untuk mengkaji organisasi-organisasi sosial dalam Islam, terlihat betapa tidak memuaskannya bahan-bahan tersebut. Memang tidak dapat dibuat gambaran yang jelas mengenai perkembangan demikian, sangat sedikit pembahasan yang mendalam tentang peran positif agama dan agamawan dalam proses maju atau berkembangnya suatu bangsa.
Tidak mudah memang untuk bisa menyajikan bacaan-bacaan yang bermutu bagi para pembaca,namun itulah yang menjadi titik tolak keberangkatan penulisan kami. Kami sadar bahwa sudah bukan saatnya kita hanya menjadi konsumen dari hasil pemikiran-pemikiran luar. Saatnya kita berfikir kritis dengan apa tujuan sebenar kita menganut agama, dan apakah organisasi agama yang kita telah berda di lingkarannya itu sudah benar dan sesuai. Yang terpenting juga adalah mengenali dan memahami sebaik mungkin permasalahan yang bermunculan dalam sekitar kita.
B.   Rumusan Masalah
1.      Apa sebenarnya islam itu?
2.      Apa sajakah organisasi-organisasi islam yang berkembang di Indonesia?
3.      Apa sajakah sumbangan ajaran Islam bagi perkembangan NKRI ?
4.      Bagaimana kaitan antara ajaran, partai politik Islam dengan strategi pemerintahan?
C.   Tujuan Penulisan
1.      Memaparkan dan menjelaskan arti Islam sebenarnya juga  organisasi sosial Islam yang berkembang di Indonesia.
2.      Memaparkan dan menjelaskan secara umum sumbangan ajaran Islam bagi perkembangan NKRI.
3.     Memaparkan dan menjelaskan sekelumit tentang Partai politik Islam dan strategi pemerintahan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
ISLAM DAN ORGANISASI-ORGANISASI SOSIAL KEAGAMAAN

A.   Pengertian Islam
Kata Islam menurut bahasa berasal dari kosa kata bahasa Arab “Aslama-Yuslimu-Islama” yang artinya selamat atau damai. Kata islam dapat pula berarti tunduk, patuh, dan berserah diri kepada Allah swt. Sedangkan menurut istilah islam adalah salah satu agama terbesar di muka bumi ini yang pertama kali disebar oleh Nabi Muhammad saw. Adapun inti dari ajaran agama ini adalah semata-mata demi keselamatan dan kedamaian umatnya dengan menekankan akan keimanan dan ketakwaan hanya kepada Allah swt semata, berlandaskan al-qur’an dan as-sunnah. Karena tonggak dasar agama ini adalah Arkanul Iman wal Islam.

B.   Pengaruh Ajaran Islam Bagi Lahirnya Organisasi Sosial Keagamaan
Besar kecilnya pengaruh agama dalam berbagai aspek kehidupan manusia, memang sangat tergantung dari ajaran dan perbuatan/perilaku dari orang-orang yang dianggap sebagai wakil Tuhan dimuka bumi ini.Dalam penelitian ilmiah juga sering dikemukakan  keraguan yang cukup gawat tentang peran agama dan agamawan  dalam beberapa segi tertentu. Kemudian keraguan itu diperkuat  oleh adanya kesenjangan yang terlalu sering terjadi antara ajaran suatu agama dengan tingkah laku atau sikap hidup penganut agama tersebut, berikut organisasi-organisasi sosial pergerakan islam;

1.      MUHAMADIYAH
Muhammadiyah ialah suatu organisasi yang berdasarkan agama Islam, sosial, dan kebangsaan, merupakan sebuah organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia sebelum Perang Dunia II dan juga sampai sekarang ini. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 bertepatan dengan tanggal 18 Zulhijjah 1330 H, oleh Kiyai Haji Ahmad Dahlan atas saran yang diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa orang anggota Budi Utomo untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen.
Organisasi ini mempunyai maksud “menyebarkan pengajaran kanjeng Nabi Muhammad Saw kepada penduduk bumi putera”, dan “memajukan hal agama islam kepada anggota-anggotanya”. Muhammadiyah juga merupakan gerakan reformasi Islam di Indonesia.muhammadiyah berusaha menghapuskan bidah, takhayul, dan takhlik yang ada dalam masyarakat. Muhammadiyah berani melahirkan pikiran yang sehat dan murni dengan dasar Al-Qur’andan hadits.
Di antara sekian amal usaha di dalam Muhammadiyah yang paling menonjol ialah usaha di bidang pendidikan dan sosial. Walaupun pada saat itu sudah ada sekolah-sekolah, dirasakan tetap saja belum merata. Padahal pendidikan dan pengajaran merupakan unsur mutlak untuk meninggikan kecerdasan rakyat. Itulah sebabnya Muhammadiyah sangat mementingkan pendidikan dan pengajar- an di samping gerakan keagamaan tentunya.
Untuk meningkatkan pendidikan pemuda, dibentuk organisasi kepanduan yang disebut Hizbul Wathon. Untuk meningkatkan pendidikan dan kecakapan wanita, Muhammadiyah membentuk organisasi Aisiyah. Dalam perkembangan selanjutnya, pemudi-pemudi Aisiyah membentuk Nasyiatul Aisiyah. Sesuai perkembangan zaman, sekarang Muhammadiyah juga mendirikan rumah-rumah sakit, rumah yatim piatu, sekolah-sekolah, dan usaha-usaha sosial kebudayaan yang lain. Untuk mencapai tujuan tersebut, organisasi berupaya mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh di mana dibicarakan masalah-masalah Islam, mendirikan wakaf dan masjid-masjid serta menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, surat-surat kabar dan majalah-majalah.
Usaha lain untuk mencapai maksud dan tujuan itu ialah dengan:
a)      Mengadakan dakwah Islam;
b)      Memajukan pendidikan dan pengajaran;
c)      Menghidup-suburkan masyarakat tolong menolong;
d)      Mendirikan dan memelihara tempat ibadah dan wakaf;
e)      Mendidik dan mengasuh anak-anak dan pemuda-pemuda supaya kelak menjadi orang Islam yang berarti;
f)        Berusaha ke arah perbaikan penghidupan dan kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam;
g)      Berusaha dengan segala kebijaksanaan, supaya kehendak dan peraturan Islam berlaku dalam masyarakat. (Anggaran Dasar Muhammadiyah Desember 1950).

2.     NAHDLATUL ULAMA (NU)

Nahdlatul Ulama (NU) didirikan di Surabaya pada tanggal 31 januari 1926 M bertepatan dengan tanggal 16 Rajab 1444 H oleh kalangan ulama penganut madzhab yang sering menamai dirinya sebagai golongan Ahlussunnah Waljama’ah yang di pelopori oleh K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Abdul wahhab Hasbullah.
Jauh sebelum NU lahir sebagai jam’iyyah (organisasi), ia terlebih dahulu ada dan berwujud jama’ah  (comunity) yang terikat kuat oleh aktifitas sosial keagamaan yang mempunyai karakter tersendiri. Ketika di adakan pertemuan ulama yang bermaksud membahas dan menunjuk delegasi komite hijaz,utusan yang hendak di kirim untuk menyampaikan pesan kepada raja Abdul Aziz Ibnu Saud, penguasa baru hijaz (Arab Saudi), ketika itu, juga secara sepontan menjawab pertanyaan yang timbul kemudian yakni siapa yang berhak mengirim delegasi itu? atau dalam istilah lain, organisasi apa dan apa pula namanya yang akan bertindak memberikan mandat kepada deligasi hijaz tersebut. Dan jawaban yang segera muncul pada waktu itu adalah kesepakatan membentuk subuah jam’iyah, wadah baru bagi persatuan dan perjuangan parra ulama’. Namun demikian, bukan berarti semua pertanyaan sudah terjawab sebab jam’iyah yang baru di sepakati berdirinya belum di beri nama. Maka terjadilah perdebatan seputar nama yang cocok buat jam’iyah yang baru saja di bentuk.
Dalam forum tersebut, terdapat dua pendapat atau usulan yang sebenarnya sama tetapi implikasinya nya berbeda. KH. Abdul Hamid dari Sidayu Gersik mengusulkan nama NU (kebangkitan ulama’) yang di sertai penjelasan, bahwa para ulama’ mulai bersiap-siap akan bangkit melalui perwadahan formal tersebut. Namun p[endapat itu mendapat sanggahan keras dari KH. Mas Alwi bin Abdul Aziz. Menurut Mas Alwi, kebangkitan ulama bukan lagi mulai atau akan bangkit. Melainkan, kebangkitan itu sudah berlansung sejak lama dan bahkan sudah bergerak jauh sebelum adanya tanda-tanda akan terbentuknya komite Hijas itu sendiri. Hanya saja kata Mas Alwi, kebangkitan atau pergerakan ulama’ kalau itu memang belum terorganisasi secara rapi. Akhirnya usul Mas Alwi di terima secara aklamasi, perdebatan berakhir dengan lahirnya Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ yang pengertiannya lebih condong pada gerakan serentak para ulama’ dalam suatu pengarahan atau gerakan bersama-sama yang terorganisir.
Setelah peresmian wadah baru itu maka tahap berikunya ialah pembentukan pengurus, dan setelah kepengurusan lengkap terbentuk giliran selanjutnya masalah lambang (simbol). Masalah simbol ini di percayakan kapada KH. Ridwan Abdullah. Lambang NU bergambar ‘bola dunia’ di lingkari seutas tampar dan sembilan bintang, di ciptakan oleh kiai Ridwan Abdullah berdasarkan mimpi setelah solat istikharoh sedang tulisan arab adalah tambahan dari Kiai ridwan sendiri dan tidak termasuk mimpi.
Dari muktamar yang petama sampai kedelapan (1926-1933) yang pada dasarnya merupakan masa perintisan. Titik berat kegiatannya terarah pada usaha pemantapan dan memperkenalkan NU keluar daerah. Ini tercermin dalam komisi propaganda yang dibentuk dengan misi khusus, menarik simpati masyarakat luas terhadap NU. Dan  tugas komisi mulai terlihat hasilnya ketika NU berhasil mengadakan muktamar disemarang, kemudian muktamar dipekalongan, terus muktamar di Cirebon, Bandung dan Jakarta. Semua itu merupakan bukti kemampuan ‘LajnatunNashihin’ yang dipimpin lansung KH. Hasyim Asy’ari, untuk mengakhiri masa perintisan menuju masa pengembangan  NU.
Dalam masa perkembangan ini, NU mulai bersungguh-sungguh memperhatikan masalah kepemudaan. Berbagai organisasi pemuda yang pada dasarnya  seaspirasi dengan NU, dikumpulkan dalam satu wadah sebagai benteng pertahanan sehingga dalam  muktamar yang kesembilan tersebut lahir sebuah keputusan: membentuk wadah pemuda yang diberi nama Anshor Nahdlathoel Oelama (ANO). Dan organisasi pemuda ini kemudian menjadi  lebih penting artinya bagi menopang induk organisasi setelah peraturan dasar dan peraturan rumah tangga (PD/PRT) disahkan dalam muktamar NU berikutnya, di Solo, Jawa Tengah.
Selain membentuk ANO, muktamar Banyuwangi juga memutuskan beberapa masalah keagamaan (masalah diniyah) antara lain: masalah perselisihan paham tentang sembayang jum’at, masalah perlunya memudahkan perkawinan buat orang kristen yang masuk islam dan hukuman berat bagi orang yang menghina  al-Qur’an.
Motivasi Berdirinya NU
a)      . Motif Agama
Penyebaran islam diindonesia (khususnya di Jawa) oleh para muballig islam, terutama wali sanga berhasil gemilang. Penyebaran islam pada abad ke-7 dan terutama setelah abad ke-11 dan 12 dapat dikatakan total menggantikan hinduisme dan budhisme yang sebelumnya sangat berjaya. Pengaruh islam masuk hingga dalam ke sendi-sendi dan kepemimpinan rakyat. Runtuhnya majapahit dan berdirinya kerajaan Islam demak (pada sekitar 1478 M), adalah bukti kepercayaan masyarkat jawa dalam waktu relatif singkat mewarnai kehidupan masyarkat disegala tingkat dihampir seluruh negri.
Namun, keberhasilan itu menjadi berantakan akibat ulah penjajah. Pada 1592 M, buat pertama kali bangsa belanda mendarat dibanten. Kemudian menguasai indonesia selama 350 abad, tidak hanya bermaksud mengeruk kekayaan bumi, tetapi juga menitipkan misi kristen untuk ditanamkan kepada bangsa indonesia yang umumnya beragama islam.
Setelah diketahui maksud sebenarnya, para pemuka-pemuka agama bangkit dimana-mana. Diawal XX para pemuka islam mulai menghimpun kekuatan melalui dunia pesantren atau mendirikan organisasi-organisasi sosial keagamaan yang pada saatnya nanti menjadi palu godam ampuh buat memukul penjajah.
b)      . Membangun Nasionalisme
Selain motif agama, NU lahir karena untuk merdeka. Sekitar tahun 1914 KH. Abdul Wahab Hazbullah mendirikan sebuah gedung bertingkat sebagai perguruan NW yang salah satu usaha untuk membangun semangat Nasionalisme lewat jalur pendidikan. Ini terlihat dari nama madrasah yang terpilih NW yang berarti pergerakan tanah air.
3.     MIAI
Organisasi ini merupakan gabungan dari organisasi politik dan beberapa organisasi massa yang bersifat moderat terhadap Belanda. Golongan Muslim yang tergabung dalam organisasi memilih sikap nonkooperasi terhadap pemerintahan kolonial. Saat Jepang berkuasa, organisasi ini mendapat kelonggaran menjalankan aktivitasnya, sementara aktivitas organisasi yang lain dilarang. Karena MIAI dipandang sebagai organisasi yang anti barat.
Suatu ketika seluruh pemuka agama diundang oleh Gunsikan, Mayor Jenderal Okazaki ke Jakarta. Mereka diajak untuk bertukar pendapat. Pertemuan itu menghasilkan MIAI harus menambah azas dan tujuannya. Kegiatan MIAI menyelenggarakan badan amal dan peringatan hari keagamaan. Sebagai organisasi yang diakui Jepang MIAI dianggap kurung memuaskan pemerintah Jepang. Pada Oktober 1943 MIAI dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Masyumi dipimpin oleh K.H. Hasyim Asyari, K.H Mas Mansyur, K.H Farid Ma’aruf, K.H Hasyim, Kartosudarmo, K.H Nachrowi, dan Zainal Arifin.
4.     PERMI
Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) adalah nama organisasi hasil peleburan Sumatera Thawalib, yaitu suatu organisasi Islam yang bercorak nasionalisme radikal. Setelah kongresnya di Bukittinggi, pada tahun 22 Mei 1930, Sumatera Thawalib menjelma menjadi Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) yang diketuai oleh Mukhtar Luthfi.
Pada mulanya Permi bergerak di bidang sosial, tetapi sejak tahun 1932 berubah menjadi partai politik yang radikal berhaluan nonkooperatif. Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Permi mempunyai pengaruh yang luas di Sumatera. Kegiatan aksinya di Sumatera meliputi daerah Tapanuli, Bukittinggi, dan Palembang. Karena aksinya yang keras, Permi juga mendapat tekanan dari pemerintah kolonial Belanda. Pemimpin-pemimpinnya termasuk Mukhtar Luthfi ditangkap dan dipenjarakan. Akhirnya, pada tanggal 11 Oktober 1937 Permi dibubarkan.

5.     AL-WASHILIYAH
Berdirinya Al-Washiliyah dilatar belakangi oleh kesadaran beberapa pelajar dan guru yang tergabung dalam perguruan Maktab Islamiah Tapanuli untuk bersatu dalam menyalurkan ide dan pendapat. Pada tahun 1918, masyarakat Mandailing menetap di Medan berinisiatif mendirikan sebuah Institusi Pendidikan Agama Islam, bernama Maktab Islamiyah Tapanuli. Mereka ini adalah pendatang dari daerah Tapanuli Selatan yang berbatasan langsung dengan tanah Minangkabau.
System pendidikan MIT adalah mencoba menggabungkan system tradisional dan modern. Apa yang diajarkan tidak jauh berbeda dari pesantren-pesantren tradisional, namun pengajaran sudah dilakukan secara klasikal dengan menggunakan media-media modern seperti bangku, papan tulis, dan sebagainya. Pendidikan inipun dibagi menjadi tiga tingkatan : persiapan ( tajhizi ), awal ( ibtida’I ), dan menengah ( tsanawi ). System dikelas mengikuti Universitas Al-Azhar Kairo yang menjadi kiblat pendidikan umat islam saat itu yaitu menerapkan system halaqah dengan duduk di lantai.
Pada tahun 1928, para alumni dan murid enior MIT mendirikan Debating Club sebagai wadah untuk mendiskusikan pelajaran maupun persoalan-persoalan sosial keagamaan yang sedang berkembang ditengah masyarakat. Debating club ini berkaitan dengan diskusi-diskusi mengenai nasionalisme dan berbagai paham keagamaan yang didorong oleh kaum pembaru. Para anggota Debating Club merasakan perlunya tempat diskusi yang lebih besar lagi. Lalu upaya ke arah ini mulai dirintis, sehingga pada tanggal 30 November 1930 bertepatan dengan 9 Rajab 1349, telah resmi berdirinya sebuah organisasi yang diberi nama Al-Washliyah, yang bermakna organisasi yang ingin menghubungkan dan mempertalikan. Hal ini berkaitan dengan keinginan memelihara hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan sesama manusia, antarsuku, antarbangsa dan lain-lain. Nama organisasi ini diambil dari Al-Qur’an. Demikianlah nama dari Al-Washliyah yang memancarkan cita-cita yang tinggi yang diharapkan menjadi roh bagi para simpatisannya.
Setelah resmi didirikan, kemudian ditetapkanlah para pengurus Al-Washliyah yang berkedudukan di Medan, dengan tahapan sebagai berikut:
1.      Ketua I: Isma’il Banda.
2.      Ketua II: A. Rahman Sjihab
3.      Penulis I: M. Arsjad Thalib Lubis
4.      Penulis II: Adnan Nur
5.      Bendahara: H. M. Yaa’kub
6.      Pembantu: H. Syamsuddin, H. Jusuf Ahmad Lubis, H. A. Malik, A. Aziz Effendy
7.      Penasihat: Sjech H. Muhammad Junus.
         
    Berdasarkan Keputusan Kongres (Muktamar) Al-Washliyah ke X Tanggal 10 Maret s/d 14 Maret 1956 di Jakarta, disepakati bahwa kedudukan Pengurus Besar Al-Washliyah dipindahkan ke pusat pemerintahan. Hal ini dimaksudkan aggar lebih dekat dengan kekuasaan pemerintah dan memudahkan koordinasi dengan pengurus di tingkat wilayah di seluruh Indonesia.
Berdirinya Al-Washliyah tidak tergantung pada seorang tokoh sentral yang karismatik sebagaimana halnya Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah, Hasyim Asy’ari dengan NU, atau Ahmad Soorkati dengan Al-Irsyad. Pendirian dan pertumbuhan awal Al-Washliyah lebih merupakan hasil upaya bersama beberapa orang dengan peran dan keistimewaannya masing-masing. Adapun orang-orang yang berperan penting dalam pendirian dan perkembangan organisasi Al-Washliyah ini, yaitu Syekh Muhammad Yunus (tokoh yang dianggap sebagai pendiri Al-Washliyah), Abdurrahman Syihab (tokoh yang mempunyai kemampuan tinggi dalam rekruitmen anggota), Arsyad Talib Lubis (ulama Al-Washliyah dengan ilmu dan pengetahuan agama islam yang mendalam), Udin Syamsuddin (administrator dan ahli manajemennya).
Al-Washliyah dipandang sebagai organisasi sosial keagamaan yang bersifat tradisional dalam paham keagamaan (ciri khas Syafi’iyah), tetapi modernis dalam pendidikan islam (bentuk lembaga yang didirikan seperti madrasah dan sekolah serta sistem dan kurikulum yang digunakan.

6.     PERSIS
   Persatuan Islam didirikan di Bandung pada tanggal 12 September 1923 oleh sekelompok orang islam yang berminat dalam studi dan aktivitas keagaman yang dipimpin oleh Zamzam dan Muhammad Yunus.
Persis mengembangkan cita-cita dan pemikirinnya melalui pertemuan umum, tabligh, khotbah-khotbah, kelompok studi, mendirikan sekolah-sekolah dan menyebarkan pamflet, majalah dan kitab. Dalam kegiatannya Persis mendapat dukungan dan partisipasi daru dua tokoh penting yaitu :
1.      Ahmad Hasan, seorang yang dianggap sebagai guru Persatuan Islam sebelum perang.
2.      Mohammad Natsir, seorang pemuda yang sedang berkembang dan bertindak sebagai juru bicara dari Persatuan Islam kalangan terpelajar.
Sama halnya dengan organisasi Islam lainnya, Persatuan Islam juga memberikan perhatian besar pada kegiatan pendidikan, tabligh serta publikasi. Salah satu caranya adalah dengan mendirikan lembaga pendidikan berupa sekolah dasar, kursus, kelompok diskusi, pengajian dan pesantren. Dalam pendidikan ini Persatuan Islam mendirikan sebuah madrasah yang awalnya dimaksudkan untuk anak-anak dari anggota Persatuan Islam, dan kemudian madrasah tersebut dibuka untuk umum. Madrasah ini membahas soal iman serta ibadah dengan menolak segala kebiasaan bid’ah. Masalah yang sangat menarik pada saat itu adalah poligami dan nasionalisme.
Selain mendirikan madrasah, Persatuan Islam juga mendirikan Pesantren Persatuan Islam pada bulan Maret 1939 di Bandung.  Dengan harapan untuk membentuk kader-kader yang mempunyai keinginan untukmenyebarkan agama, usaha ini merupakan inisiatif Hasan. Kemudian Pesantren ini dipindahkan ke Bangil, Jawa Timur. Setelah pesantren dibuka di Bangil, maka muridnya bertambah dari kepulauan Indonesia. Pada tahun 1941dibuka pesantren bagian perempuan. Dan kedua pesantren ini berjalan baik.
Persis dan Muhammadiyah memiliki tujuan yang sama namun memiliki beberapa perbedaan, yaitu :
No
Muhammadiyah
Persis
1
Muhammadiyah sangat giat dalam membentuk banyak cabang.
Persis tidak terlalu giat dalam membentuk banyak cabang
2
Muhammadiyah berusaha mengiring orang masuk, lalu kemudian dibina orang tersebut dalam organisasi
Persis membina dahulu diluar, jika dianggap sudah pantas baru direkrut menjadi anggota
3
Lebih mengutamakan aksi sosial melalui sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan
Lenih mengutamakan dakwah lisan dan tulisan, seperti memperbanyak tabligh, menerbitkan buku, mengadakan diskusi umum dan lain-lain.

Tidaklah mengherankan jika organisasi Persis jauh lebih kecil dibanding Muhammadiyah dalam jumlah anggota dan aktivitasnya. Persatuan Islam hanya memiliki 200 cabang diseluruh Indonesia, yang menangani ratusan sekolah dan pesantren.
C.   Sumbangan Agama Islam dalam membangun NKRI dan Menghadapi tantangan luar dan dalam.
1.     Tantangan Islam dan NKRI
Meskipun Indonesia merupakan salah satu kesatuan bangsa muslim terbesar di bumi tetapi  sesungguhnya masih dalam tahap perkembangan dalam artian masih berada di fase pembentukan, masih sedang menyiapkan masa depannya, bahkan bisa dikatakan bahwa umat islam Indonesia sekarang ini betul-betul baru pada tahap permulaan mengecap hasil perjuangan mereka sendiri selama bertahun-tahun melawan dan menghalau penjajah. Oleh karena itu tidak mustahil jika selalu saja ada tantangan yang menghadang perkembangannya. Tantangan itu dapat bersifat internal ataupun eksternal. ( Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan, dan KeIndonesiaan : hal. )
a). Tantangan Dalam Negeri
Tantangan umat Islam pada saat ini terbagi menjadi dua yaitu tantangan dari dalam negeri dan tantangan dari luar negeri. Tantangan dari dalam negeri adalah yang paling terkait dengan persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) yang menurut Komnas HAM kian meningkat. Jika pada tahun 2013 Komnas HAM menerima pengaduan terkait KBB sebanyak 39 berkas, maka pada tahun 2014 pengaduan sudah naik menjadi 67 berkas. Kasus tertinggi, sebanyak 30 berkas terkait dengan rumah ibadah, 22 berkas untuk kekerasan dan diskriminasi, lalu 15 berkas untuk penghalangan terhadap ritual pelaksanaan ibadah
 Tentu sejumlah laporan ke Komnas HAM tersebut bukan hanya permasalahan Komnas HAM tapi juga menjadi permasalahan NU dan Muhammadiyah selaku dua ormas Islam terbesar dan pengayom umat yang menjadi mayoritas di Indonesia.
Selain kasus-kasus yang telah dicatat oleh Komnas HAM, kasus-kasus yang telah akut seperti kasus GKI Yasmin, kasus pengungsi Ahmadiyah di Transito NTB dan kasus pengusiran dan tindak kekerasan terhadap Muslim Syiah Sampang juga merupakan tantangan berat bagi NU dan Muhammadiyah. Sebab hingga saat ini pemerintah yang sudah berganti kepemimpinan belum mampu menyelesaiakan permasalahan tersebut, hingga menjadi catatan hitam perjalanan kerukunan umat Islam di Indonesia. Maka NU dan Muhammadiyah memiliki kewajiban moral untuk membantu penyelesaian permasalahan tersebut.
b). Tantangan Luar Negeri
Selain tantangan dari dalam, tantangan dari luar negeri juga tidak bisa dianggap enteng. Salah satunya adalah stigma yang dilekatkan pada Islam sebagai agama barbar dan penyebar teror, sehingga Islam dianggap identik dengan agama teror.
Stigma ini diakibatkan oleh sejumlah kelompok umat yang mengatasnamakan Islam dan mengambil langkah kekerasan untuk menyelesaikan persoalan. Salah satu yang paling tenar saat ini adalah fenomena munculnya kelompok ISIS. Kelompok pengaku Islam yang berusaha untuk membentuk negara Islam dan kekhalifahan ini menempuh jalan peperangan dan bahkan pembunuhan kepada umat agama lain dan bahkan kepada umat Islam sendiri hanya karena alasan tidak mau mendukung mereka.
Tentu saja, kedua ormas ini memiliki tanggung jawab untuk menghapus stigma teroris yang diterima umat Islam dan menjaga Islam yang ada di Indonesia agar tidak terkontaminasi kelompok-kelompok Islam yang menggunakan jalan peperangan untuk menyelesaikan permasalahan mereka. Jika tidak, maka bukan tidak mungkin apa yang saat ini terjadi di Timur Tengah juga akan terjadi di Indonesia dan tentu kita semua tidak mengharapkan hal itu.
Dengan ditutupnya dua Muktamar ormas Islam terbesar itu, ibarat dua sayap Islam Indonesia kita semua tentu berharap NU dan Muhammadiyah ke depan akan mampu membawa umat Islam Indonesia terbang lebih tinggi lagi dan mampu menyelesaikan dua tantangan berat umat baik dari luar maupun dari dalam negeri. ( Garis politik dan cita-cita pembentukan umat, Turmudi Endang : hal.17 ).

2.     Sumbangan Agama dan Umat Islam demi perkembangan NKRI
Di samping dua tantangan itu para muslim pun juga banyak memberikan sumbangan demi berkembangnya Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, dari zaman sebelum penjajahan hingga Indonesia merdeka seperti sekarang ini. Di antaranya adalah sebagai berikut :
a.     Peran Historis Umat yang Bersemangat Keislaman
Partisipasi warga Indonesia yang bersemangat keislaman dalam perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan itu juga sangat menentukan, ditandai dengan didirikannya monumen Tugu Syuhada dan Masjid Istiqlal. Dengan jelas kedua monumen itu melambangkan pengakuan tentang adanya keindonesiaan dan keislaman, adanya kemerdekaan dan peran besar warga yang bersemangat keislaman. Salah satu contoh yang bisa kita kaji adalah bagaimana ketika warga muslim yang memenuhi panggilan tanah air untuk menghancurkan kaum komunis, sehingga kemudian menghantarkan bangsa ini memasuki orde baru.
Dengan partisipasi penuh dalam pendidikan modern dan dalam semua segi kehidupan nasional lainnya, para warga atau penerus bangsa yang bersemangat keislaman itu sekarang sedang mengumpulkan pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman teknis yang amat diperlukan bagi terealisasikannya peran pada tingkat yang lebih tinggi di masa mendatang. (Tradisi Islam dst, Nurcholis Madjid: hal. 21)

b.     Mengembangkan Etos Keilmuan Untuk Indonesia Masa Depan.
Tantangan terbesar NKRI yang terkenal kaya akan sumber daya alam ini ialah kekurangan sumber daya manusia, peran mereka di bidang keilmuan sangat minim. Sedangkan kunci kemakmuran itu terletak pada seberapa berkualitasnya SDM dan taraf pendidikan negara itu sendiri. Faktor manusia lebih menentukan dari faktor sumber daya alam.
Sudah sekian lama, setidaknya dampak sosial dari kehadiran kaum terpelajar kalangan rakyat yang sebagian besar beragama Islam mulai terasa. Ini dapat dilihat dalam berbagai sektor kehidupan yang menyangkut kelompok orang-orang berpengetahuan, ini merupakan kriteria utama kehidupan modern yang maju. Masa depan bangsa dan negara kita akan sangat ditentukan oleh kehadiran kaum terpelajar ini karena pada hakikatnya yang demikian  inilah cita-cita dan hasil terpenting kemerdekaan.
Etos keilmuan ini sejajar dengan etos ijtihad, karena ijtihad itu sendiri selaras dengan ide tentang mengikuti suatu jalan pikiran yang tidak hanya pada batas qaul-an tetapi juga mencakup bahkan terfokus pada metodologinya. Perlu diketahui bahawa kebangkitan islam kembali  di zaman modern ini berhubungan erat dengan ditumbuhkan dan dikembangkannya etos ijtihad itu pula..
Berdasarkan hal-hal di atas, maka pengembangan etos keilmuan di negeri kita dapat mengacu sepenuhnya pada etos keilmuan yang diajarkan Islam dan telah dibuktikan oleh sejarahnya yang panjang (kita haru ingat bahwa masa kejayaan islam dahulu masi dua-tiga kali lipat lebih besar daripada masa kejayaan Barat modern sekarang ini). Menurut logika Islam , untuk membuat kita lebih mampu menghadapi tantangan zaman dan meresponinya kita harus mampu dengan cermat mendeteksi gejala perkembangan sosial yang terjadi kemudian kita fahami kecenderungan dasar yang melandasi dan melatar belakanginya. Degan kata lain kita harus percaya pada  manusia dan kemanusiaan yang banyak ditekankan Islam. Percaya pada manusia dan kemanusiaan inilah yang dahulu melandasi para pemikir muslim sehingga mereka tidak segan-segan belajar dari siapa saja dan ke mana saja.
(“Tradisi Islam dst”, Nurcholis Majdjid: hal.29-36)
c.     Islam dalam lingkup budaya menegakkan disiplin nasional
Dalam agam Islam, bagian dari sikap keagamaan yang seharusnya melahirkan disiplin ialah kesadaran akan tanggung jawab pribadi. Tanggung jawab atas segala perbuatan yang baik dan buruk di hadapan Tuhan dalam pengadilan Ilahi.
Dari uraian ini dapat dilihat adanya kaitan antara disiplin dengan konsep tentang balasan setimpal terhadap perbuatan baik ataupun buruk; konsep keagamaan balasan-dosa. ( “Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dst”,Nurcholis Madjid : hal. 138-140 )
Karena adanya keterkaitan itu maka disiplin tidak bisa dipisahkan dengan masalah penegakan hukum dalam masyarakat. Dengan tertib hukum demikian akan memberi kerangka institusional pada sikap berdisiplin, namun tertib hukum itu tidak akan terwujud dengan baik tanpa partisipasi semua anggota masyarakat, dalam semngat, saling mengingatkan tentang kesabaran dan kebenaran. Sebagai konsekuensinya berkenaan dengan disiplin ini masing-masing anggota masyarakat dapat dengan bebas untuk saling memperingatkan dan saling mengawasi, serta untuk secara bersama memikul beban “penderitaan sementara”, karena yakin bahwa kelak dalam jangka panjang, kebahagiaan sejati akan terwujud. Sebagaimana kita ketahui ini adalah interpretasi ajaran khas agama Islam tentang dunia dan akhirat yang sekaligus sumbangan motivasi bagi berkembangnya NKRI.

d.     Demokratisasi dan pembangunan nasional.
Agama islam selamanya akan tetap relevan bagi kehidupan, baik untuk kehidupan individu maupun kehidupan sosial masyarakat. Relevansi ini juga berlaku bagi negeri dan bangsa kita di masa depan. Islam tidak akan terkalahkan oleh ilmu pengetahuan, tetapi justru akan menjadi wahana bagi kreatifitas dan inovasi yang menjadi pijakan bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Sudut pandang umat islam yang beranggapan bahwa demokrasi adalah suatu cara bukan tujuan. Demokrasi harus kita pandang sebagai suatu cara demi mendapatkan tujuan itu sendiri. Hal ini akan menentukan kualitas tujuan yang dicapai oleh suatu bangsa. Suatu tujuan yang dicapai secara secara demokratis akan memiliki keabsahan yang lebih tinggi daripada jika dicapai sebaliknya. Maksudnya jika tujuan membenarkan cara yang ditempuh, maka cara yang ditempuh itu sendiri akan ikut membenarkan tujuan yang dicapai, Contohnya pada tantangan perbedaan pendapat dalam masyarakat. Ada yang beranggapan bahwa perbedaan pendapat itu akan memberi nilai positif bagi perkembangan masyrakat, tidak bisa dibenarkan kecuali jika disertai dengan cara penyelesaian yang ramah. Usaha penyelesaian yang dikehendaki oleh masyarakat yang demokratis ialah diperlukan adanya kompromi antara berbagai pihak yang bertikai, diperlukan adanya kesadaran tentang etika dan aturan main bermusyawarah yakni hak semangat mengutarakan pendapat secara bebas dan kewajiban mendengar pendapat orang lain dengan penuh pengertian dan rasa hormat. Inilah salah satu sumbangan islam Indonesia terhadap bangsanya yang berpijak pada bentuk pemerintahan demokrasi.

D.   Asal-Usul Partai Politik, dan Strategi Politik
1.     Asal usul partai islam
Sejarah partai politik islam dapat ditelusuri sejak masa kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan yang berseteru dengan Ali bin Abi Thalib. Peristiwa ini dikenal dengan “peristiwa Ali kontra dengan Utsman” yang menimbulkan perdebatan di kalangan kaum muslimin. Hal pertama yang yang diperselisihkan adalah mengenai imamah (kepemimpinan kaum Muslimin) dan syarat-syaratnya serta siapa yang berhak memegangnya. Kelompok Ali meyakini bahwa imamah yang tepat adalah Ali dan keturunan-keturunannya. Sedangkan lawan politiknya mengatakan, bahwa yang berhak memegang jabatan imamah haruslah orang terbaik dan paling cakap meskipun dia budak dan bukan dari keturunan Quraisy (Pengantar Teologi Islam, 2003).
Setelah Utsman meninggal (Tahun 655 M), pembaiatan umat Islam terhadap Ali sebagai Khalifah terakhir ternyata tidak disetujui oleh seluruh kaum Muslimin pada saat itu. Pada saat yang bersamaan, umat Islam terpecah belah menjadi dua kubu. Pertama, kubu yang mendukung  pembaiatan Ali. Kedua, kubu yang mendukung Mu’awiyah sebagi khalifah yang tepat setelah Utsman bin Affan. Di satu sisi, Ali menyatakan bahwa pembaiatannya telah resmi dan sah. Bagi mereka yang terlambat membaiat, diminta untuk mengikuti keputusan yang sudah ditetapkan oleh kaum Muslimin di Madinah, tempat tinggal Nabi Muhammad SAW dan kampung halaman para sahabat. Di sisi yang lain, kelompok penentang Ali menyatakan bahwa pembaiatannya tidak sah karena Ahlu Hill wal ‘Aqd (lembaga yang berhak memilih pemimpin Islam) berselisih pendapat. Di antara para anggota lembaga ini ada yang mengatakan, bahwa yang cocok menjadi khalifah adalah Mu’awiyah, Amr bin Ash, Ummul Mu’mini ‘Aisyah, dan lain sebagainya (Teori Politik Islam, 2001).
Di samping kedua kelompok ini, ada kelompok ketiga yang minoritas. Kelompok ini tidak menemukan bentuk kebenaran sehingga mereka tidak hadir dalam pembaiatan, menjauhi massa, dan tidak ikut serta dalam peperangan. Kelompok ini juga berpandangan, bahwa umat Islam sedang dalam fitnah sehingga harus ditenangkan dulu sebelum memulai memikirkan soal khalifah. Mereka yang tergabung dalam kelompok ini antara lain Saad bin Abi Waqqas, Abdullah bin Umar, Usamah bin Zaid, Muhammad bin Maslamah, Abu Said Al-Khudlri, Hassan bin Tsabit, Maslamah bin Mukhallad, Abdullah bin Salam, dan An-Nu’man bi Basyir. Dalam perkembangan selanjutnya, para pendukung Ali mengalami konflik internal dan terbelah menjadi dua. Kelompok pertama disebut Syiah, yaitu orang-orang yang tetap setia dan loyal dengan kekhalifahan Ali hingga wafatnya. Kesetian kelompok pertama ini hingga anak cucu keturunan berikutnya. Kelompok kedua disebut dengan kaum Khawarij, yaitu kelompok yang pada awalnya begitu amat sangat setia pada Ali tetapi karena sebuah peristiwa At-Tahkim, akhirnya mereka keluar dari barisan pendukung Ali, bahkan menjadi pembangkang dan mengecam Ali dan pendukungnya (Teori Politik Islam, 2001). Selain itu, hal yang menjadi perdebatan antara kelompok Syiah dah Khawarij adalah apa yang dimaksud dengan dosa besar. Dari perdebatan ini menimbulkan perselisihan mengenai perdebatan iman. Perdebatan tentang dosa besar ini bermula dari pembunuhan terhadap Utsman. Dari sinilah awal munculnya partai politik Islam yang kemudian melahirkan sekte-sekte politik pada periode selanjutnya, seperti Murjiah, Asy’ariyah, Mu’tazilah serta sekte-sekte selanjutnya.
Dalam sejarah politik Indonesia, di kalangan pemikir Islam mengalami perdebatan tentang suatu hal yang sangat fundamental: Mengenai perlukah umat Islam melahirkan dan memiliki partai Islam? Di satu sisi, ada kelompok yang menolak dibentuknya partai Islam yang diwakili oleh pemikiran Nurcholis Madjid atau biasa dikenal dengan Cak Nur. Di sisi lain, ada kelompok yang sangat keras memperjuangkan perlunya kelahiran parta Islam sebagai alat perjuangan dan aspirasi politik kaum Muslim untuk mengimplementasikan nilai-nilai Islam yang menurut mereka sesuai dengan kehidupan umat di dalam sebuah negara.
Untuk gagasan yang pertama, yaitu tidak perlunya dibentuk partai Islam merupakan hasil renungan Cak Nur, menurut beliau harus ada pemisah antara urusan agama dan politik. Agama tidak boleh dibawa-bawa pada urusan praktis yang ujung-ujungnya hanya akan membawa konflik antara umat Islam. Dengan adanya pemisahan tersebut, umat Islam bisa lebih konsentrasi pada urusan-urusan dakwah dan keummatan serta urusan lain semisal pendidikan dan sosial. Sedangkan urusan politik diserahkan pada partai politik yang cenderung menggunakan simbol nasionalis atau moderat tanpa harus mencantumkan asas dan simbol-simbol Islam.Sedangkan gagasan yang kedua, yaitu perlunya partai islam sebagai alat perjuangan politik Islam muncul dari kalangan praktisi politik. Menurut mereka, mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Ini merupakan modal besar bagi mereka untuk mendirikan partai politik agar aspirasi kelompok Islam dapat terwakilkan dalam kebijakan-kebijakan di pemerintahan. Pemikiran kedua ini hingga kini diyakini oleh sebagian besar kelompok Islam dan pada kenyataannya animo kaum Muslim untuk berpolitik praktis tetap besar, sehingga pemikiran Cak Nur pasca meninggalnya seolah terpinggirkan dan tak lagi diunculkan ke permukaan.
Namun demikian, partai politik Islam telah ada dan berkembang hingga saat ini. Dari sini dapat diketahui, bahwa lahirnya partai politik Islam di Indonesia menunjukkan kenyataan di mana dinamika politik di negeri ini salah satunya berorientasi aliran. Menurut Th. Sumartana, sebagaimana dikemukakan oleh Romli ( Islam Yes Partai Islam yes, 2006)  ada beberapa hal yang menyebabkan munculnya partai politik berbasis agama. Pertama, karena agama itu sendiri memiliki dukungan teologis untuk mencapai cita-cita berdasarkan gagasan-gagasan keagamaan yang dipercayai. Kedua, karena ikatan politik dari para warganya menyebabkan agama sebagai faktor pengikat untuk mendukung pemimpin dari kelompok agama tersebut. Ketiga, karena umat agama tersebut merasa lebih nyaman dengan pemimpin politik yang lahir dari komunitasnya sendiri tidak percaya manakala politik dikuasai oleh kelompok agama yang lain

2.     Pendekatan Politik Islam dalam Strategi Pemerintahan.

Di tengah masyarakat yang heterogen dan majemuk serta konflik horizontal yang salah satunya diakibatkan oleh konflik agama, maka sulit bagi kelompok Islam untuk mengimplementasikan gagasan negara Islam di Indonesia. Hal ini dapat terlihat ketika perdebatan tentang dasar negara dalam sidang BPUPKI yang di selenggarakan pada tanggal 29 Mei- 1 Juni 1945. Menurut Anshari ( Piagam Jakarta 22 Juni 1945: sebuah Konsensus Nasional tentangDasar Negara Republik Indonesia 1945-1949,1997), perdebatan di antara para anggota sidang memunculkan dua gagasan utama tentang dasar negara. Kelompok nasionalis Islam menginginkan agar Indonesia didirikan sebagai negara Islam. Sedangkan kelompok nasionalis sekuler menginginkan Indonesia sebagai negara persatuan nasional yang memisahkan antara urusan negara dan Islam. Selain kelompok nasionalis Islam, seperti Kahar Muzzakir, Abikoesno Tjokrosoe-joso, Agus Salim, Ahmad Soebarjo, dan wachid hasyimyang tergabung dalam “Panitia Sembilan” sebagai penggagas Piagam Jakarta, anggota sidang BPUPKI lainnya yang juga mendukung Piagam Jakarta adalah Ki Bagus Hadikusumo, saat itu menjabat ketua PP Muhammadiyah.
Kemudian, sehari setelah kemerdekaan, 18 Agustus 1945, anggota PPKI mengadakan sidang untuk menetapkan UUD beserta mukadimah dan persoalan lain yang diusulkan oleh para anggota sebelum dan sesudah kemerdekaan (Piagam Jakarta 22 Juni 1945: sebuah Konsensus Nasional tentangDasar Negara Republik Indonesia 1945-1949,1997). Dalam sidang itu, Mohammad Hatta menyampaikan beberapa usulan perubahan, di antaranya perubahan pada preambul Piagam Jakarta, yaitu anak kalimat: “Berdasarkan kepada Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa” (Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, 1996). Pada awalnya, sebagian anggota PPKI menolak gagasan Bung Hatta namun setelah meyakinkan dengan berbagai alasan agar jangan sampai pecah dengan non-muslim demi kemerdekaan Indonesia, akhirnya perubahan tersebut disetujui dan syariat islam sebagai ideologi negara mengalami kegagalan.
Sepuluh tahun kemudian, perdebatan negara Islam kembali muncuk kepermukaan dalam sidang Majelis Konstituante setelah Pemilu 1955. Menurut Syafii Maarif (Islam dan Masalah Kenegaraan, 1985), Majelis Konstituante diharapkan mampu membuat UUD yang permanen untuk menggantikan UUD Sementara yang pernah dimiliki. Namun, usaha itu belum dapat terselesaikan hingga sidang berakhir pada 2 Juni 1959. Situasi yang tengah macet ini diatasi oleh Soekarno dengan mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juni 1959 dengan membubarkan Majelis Konstituante dan menetapkan kembali berlakunya UUD 1945 sebagai dasar ideologi negara, dengan mempertimbangkan Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 yang menjiwai UUD 1945. Ini artinya, perjuangan syariat Islam kembali menemukan kegagalan untuk yang kedua kalinya.
Pada era Orde Baru, kekuatan-kekuatan politik Islam dibendung agar tidak muncul ke permukaan. Hal ini mengakibatkan perjuangan politik Islam tidak dapat bergerak bebas. Di rezim Soeharto, gagasan negara Islam dibungkam rapat-rapat. Meskipun demikian gerakan bawah tanah dari kelompok Islam militan tetap dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil. Di beberapa daerah muncul organisasi Islam garis keras yang melakukan perlawanan terhadap rezim Orde Baru, seperti KPPSI di Makassar (Sulawesi Selatan) dan KPPSI di sumatera Barat.
Meskipun dibungkam, teriakan dari bawah tanah umtuk mendirikan gagasan negara Islam selalu muncul dalam berbagai bentuk perjungan. Pasca tumbangnya rezim Soeharto, perjungan untuk mengembalikan Piagam Jakarta dalam UUD 1945 muncul ke pelataran publik terutama dalam Sidang Tahunan MPR yang berlangsung sejak 2000-2002. Dalam sidang tersebut, muncul dua arus sikap. Pertama, sikap mendukung terhadap gagasan negara Islam yang diwakili kelompok nasionalis Islam. Kedua, sikap penolakkan terhadap gagasan tersebut. Menurut laporan riset yang dilakukan oleh Sumarjan (Tinjauan Kritis Respon Parlemen Terhadap Masalah Piagam Jakarta: Debat Penerapan Syariat Islam, 2002) dari Inside Jakarta, setujunya kelompok Islam terhadap pemberlakuan Piagam Jakarta didasarkan pada alasan, bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, syariat Islam dapat menjadi alternatif di tengah kegagalan penegakan hukum sekuler, dan secara historis perdebatan tetang Piagam Jakarta belum selesa. Sedangkan ketidaksetujuan kelompok nasionalis terhadap pemberlakuan Piagam Jakarta karena menghidupkan kembali Piagam jakarta sudah tidak relevan lagi utuk konteks sekarang.
Perkembangan isu Piagam Jakarta diikuti juga oleh proses negosiasi antar partai ketika pleno Panitia Ad Hoc Badan Pekerja MPR yang membahas pasal 29. Hasil negosiasi itu menghasilkan empat pembahasan alternatif. Pertama, negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang didukung oleh F-PDIP dan F-PG. Kedua, negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya yang didukung oleh F-PPP dan F-PBB. Ketiga, negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan ajaran agama bagi masing-masing yang didukung oleh F-PKB dan F-Reformasi. Keempat, negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia namun tidak ada satupun fraksi yang mendukung alternatif ini.
Dari sini telah nampak, bahwa usaha-usaha yang dilakukan oleh kelompok Islam tidak berhasil. Terbukti upaya-upaya itu tidak mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen. Bagi sebagian pengamat, kandasnya perjuangan dalam amndemen pasal 29 merupakan kekalahan politik Islam. Sementara bagi sebagian pihak yang memperjuangkan amandemen tersebut, mereka merasa tidak kalah. Hanya belum menang. Namun persoalan memperjuangkan pasal 29 telah membelah umat Islam ke dalam pro dan kontra secara ekstrem,baik di internal partai maupun di lingkungan organisasi sosial keagamaan umat Islam. Bagi partai dan kelompok Islam yang memperjuangkan tujuh kata tersebut, itu merupakan langkah perjuangan Islam. Namun, di sisi lain, pemberlakuan Piagam Jakarta dapat membawa kehancuran Indonesia.
Di tubuh umat Islam sendiri belum ada kata sepakat tentang beberapa hal. Pertama, tentang konsep syariat Islam dan pelembagaannya dalam kehidupan bernegara. Kedua, tentang strategi politik Islamitu sendiri. Ketiga, tentang formalisasi dan amandemen pasal 29 dengan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Tapi, bagi pihak yang tidak setuju aka menilai, seperti penilaian yang disampaikan oleh Majelis Sinergis Kalam ICMI, bahwa kelompok yang memperjuangkan amandemen tersebut dianggap hanya melakukan komoditas politik semata. Hal ini menandakan bahwa politik di kalangan elite Islam masih belum ada titik temu. (Majalah Suara Muhammadiyah, 16-30/09/2002)
Menurut Cipto (Majalah Suara Muhammadiyah, 16-30/09/2002), kegagalan pengembalian Piagam Jakarta pada pasal 29 setidaknya didasarkan oleh empat hal. Pertama, usulan tersebut tidak mendapat dukungan partai-partai besar yang mendomisili legislati dan eksekutif. Kedua, kedua ormas Islam terbesar berpikiran usulan teresbut tidak bijak untuk dikembangkan lebih lanjut. Terbukti, Muhammadiyah mengeluarkan surat edaran tentang penolakan penegakkan syariat Islam dan perubahan pasal 29 yang juga dimuat dalam Suara Muhammadiyah (1-15/09/2002). Ketiga, umat Islam pada umumnya tetap mampu mengembangkan organisasi masing-masing tanpa perubahan pada pasal 29. Keempat, usulan tersebut hanya sekedar supaya kelompok minoritas untuk meningkatkan dukungan.
Selaras dengan itu, Amien Rais dalam Suara Muhammadiyah (1-15/09/2002) menilai bahwa keberadaan pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara sudah cukup memadai bagi umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Dengan demikian, sebenarnya Negara Pancasila secaa substantif adalah ‘negara Islami” sebagaimana dikemukakan oleh Dien Syamsuddin (Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani,2000). Hal tersebut didasarkan pada Pancasila yang mengandung nilai-nilai Islamsubstansial, seperti tauhid, kemanusiaan, persaudaraan, demokrasi, dan keadilan. Selain itu, berdasarkan kenyataan, bahwa “Negara Pancasila agama” memiliki tempat yang tinggi. Walaupun Pancasila sering dinilai bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler, tetapi pada kenyataannya, Negara Pancasila adalah negara “demokrasi yang bersifat keagamaan”. Karena itu, Amien Rais (Majalah Suara Muhammadiyah, 16-30/09/2002) mengambil kesimpulan, suatu saat umat Islam bisa saja membuat Negara Islam ketika umatnya sudah bersatu padu menggagas sebuah masa depan yang jelas, kemudian semua wakil rakyat (parlemen) sekitar 95% lebih menghendaki negara yang syariah, maka bisa jadi pada saat itu pembicaraan tentang negara Islam dan lain sebagainya dapat diterima oleh akal sehat.








BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Setelah menelaah kembali asal-usul dan perkembangan dari setiap organisasi pembaharu dalam berbagai bidang, dapat diambil kesimpulan bahwa setiap organisasi mempunyai visi misi yang sama dalam membaharui Indonesia baik dari segi agama, pendidikan dan politik kearah yang lebih maju, untuk mengejar berbagai ketinggalan-ketinggalan Negara sekutu. Tidak dapat dipungkiri system pembaharu dalam berbagai bidang ini memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia sendiri.
Organisasi-organisasi baru ini memiliki basis ideologi, pemikiran, dan strategi gerakan yang berbeda dengan ormas-ormas yang pada umumnya. Mereka memiliki karakter yang lebih militant, radikal, skripturalis, konservatif, dan eksklusif. Berbagai ormas baru tersebut memang memiliki platform yang beragam, tetapi pada umumnya memiliki kesamaan visi, yakni pembentukan “Negara islam” (daulah islamiyah) dan mewujudkan penerapan syariat islam, baik dalam wilayah masyarakat, maupun negara.


B.   Saran
Sebaiknya kita memandang islam tidak hanya pada satu sudut pandang, agama Islam dan pemeluk-pemeluknya bagaikan suatu bangunan yang satu, suatu bangunan yang sama. Masing-masing saling memberi bentuk  dan reaksi selama masih hidup dan memiliki kesadaran beragama.








DAFTAR PUSTAKA
  1. Madjid, Nurcholis. Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, Jakarta: Paramadina.1997
  2. Al-Hafni, Abdul Mun’im, Golongan, Kelompok Aliran, Mazhab, Partai dan Gerakan Islam, Jakarta : Grafindo Khazanah Ilmu 2006
  3. Hasan, Muhammad Thalhah, Ahlussunnah Wal Jama’ah Dalam Persepsi dan Tradisi NU,  Jakarta :  Lantaroba Press, 2005
  4. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia,  1982
  5. Majalah Suara Muhammadiah, November 2002
  6. Mansur, Rekontruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Departemen Agama RI,  2005
  7. H.A.R.Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo,1995
  8.  Nizar Samsul, Sejarah Pendidikan Islam Jakarta : Kencana,  2007
  9. Azra,Azyumardi, dkk, Urban Sufisme, Jakarta : Rajawali Pers :2008



Tidak ada komentar:

Posting Komentar