BAB I
PENDAHULUAN
- Latar
Belakang
Zaman telah berganti dan perkembangan ilmu pengetahuan
semakin maju dalam bidangnya masing-masing tak terkecuali ilmu filsafat. Pada
zaman dahulu, konon ilmu ini milik orang Kaldan, Iraq. Kemudian berpindah
kepada orang Mesir selanjutnya berpindah lagi pada orang Yunani. Beberapa kurun
waktu dan setelah mengalami penerjemahan, ilmu ini berpindah lagi kepada orang
Suryani selanjutnya pada orang Arab. Sehingga sekarang muncullah apa yang
disebut filsafat islam. Ilmu ini tetap diajarkan karena para filosof (orang
yang menguasai ilmu filsafat) berpendapat bahwa ilmu ini merupakan keutamaan,
sumber segala ilmu, induk semua ilmu, sumber segala hikmah dan sumber kecakapan
manusia. Jadi, penyusunan makalah ini kami kira menjadi penting untuk
memberikan wawasan mengenai ilmu filsafat islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa itu Filsafat dan Filsafat Islam
?
2.
Apa perbedaan Filsafat Islam dengan
Filsafat Barat?
3.
Apa latar belakang munculnya
Filsafat Islam serta siapa tokoh-tokoh dalam Ilmu Filsafat Islam?
4.
Apa sajakah pokok-pokok masalah yang
dibahas Filsafat Islam?
5.
Bagaimana kita menyikapi perbedaan
pendapat para filosof Islam dan apa manfaatnya bagi kehidupan?
C.
Tujuan Penulisan
1.
untuk mengetahui pengertian Filsafat
dan Filsafat Islam
2.
untuk mengetahui perbedaan Filsafat
Islam dengan Filsafat Barat
3.
untuk mengetahui latar belakang
munculnya Filsafat Islam serta siapa tokoh-tokoh dalam Ilmu Filsafat Islam
4.
untuk mengetahui pokok-pokok masalah
yang dibahas Filsafat Islam
5.
untuk mengetahui sikap kita
menyikapi perbedaan pendapat para filosof Islam dan manfaatnya bagi kehidupan
BAB II
FILSAFAT ISLAM
A. Pengertian Filsafat dan Filsafat
Islam
Filsafat
berasal dari kata Yunani yaitu philos
dan sophia. Philos yang berarti cinta
dan dalam arti luas yang berarti keinginan. Sedangkan sophia yang berarti kebenaran atau kebijaksanaan. Secara etimologi
filsafat berarti cinta pada kebijaksanaan atau kebenaran. Hasan Sadzili
mengatakan bahwa filsafat adalah cinta akan kebenaran[1]. Jadi,
filsafat adalah cinta kepada ilmu pengetahuan atau kebenaran, suka kepada
hikmah dan kebijaksanaan.
Menurut Moh.
Hatta dan Langeveld, filsafat tidak perlu diberikan karena setiap orang
memiliki titik tekan yang berbeda dalam mendefinisikannya. Oleh karena itu,
beliau membiarkan seseorang meneliti filsafat terlebih dahulu kemudian
menyimpulkannya sendiri.2 Plato menyebut Socrates sebagai seorang
philosophos (filosof), yakni pecinta kebijaksanaan. Sebelum Socrates, ada suatu
kelompok yang menyebut diri mereka sophist (kaum sofis) yang berarti para
cendekiawan.3 Plato mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan
tentang segala yang ada. Menurut Aristoteles filsafat adalah menyelidiki sebab
dan azas segala benda. Karena itu, Aristoteles menamakan filsafat dengan
“teologi” atau “filsafat pertama”. Karena itu Aristoteles menyimpulkan bahwa
setiap gerak di alam ini digerakkan oleh
yang lain, dari hasil pemikirannya secara komprehensif sesuatu yang bergerak
tentu tidak terlepas dari sesuatu yang bermateri tentulah dua yang berpotensi
untuk bergerak.4
Al-Farabi
mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang alam yang maujud dan
bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.5 Menurut Sultan
Takdir Alisjahbana berpendapat bahwa filsafat adalah berpikir dengan insaf.6
Fuad Hasan berpendapat, bahwa filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berpikir
radikal dalam arti mulai dari radixnya sesuatu gejala, dari akarnya sesuatu
yang hendak dipermasalahkan. Dan dengan jalan penjagaan yang radikal itu
filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan yang universal.7
Filsafat
adalah pandangan yang menyuluruh dan sistematis, dikatakan begitu karena
filsafat bukan hanya sekedar pengetahuan, melainkan suatu pandangan yang dapat
menembus sampai dibalik pengetahuan itu sendiri. Dikatakan sistematis karena
filsafat menggunakan [2] metode
berfikir secara sadar, teliti, teratur, serta sesuai dengan hukum-hukum yang
ada. Adapun filsafat Islam adalah pemikiran-pemikiran filsafat yang memberikan
kontribusi pada Islam dan sebaliknya Islam menggunakan filsafat untuk
memperkuat prinsip-prinsip agama. Salah satu prinsip dalam filsafat adalah
berpikir radikal, yang berujung pada pengakuan bahwa alam ini disebabkan oleh
suatu zat yang tidak tergantung siapapun. Dalam bahasa agama zat tersebut
adalah Tuhan.
B. Perbedaan filsafat Islam dan
filsafat barat
Banyak
pendapat yang mengatakan bahwa filsafat lahir dari Yunani, namun ada juga yang
mengatakan bahwa filsafat dimulai dari Islam. Ada lagi yang berpendapat asal
mula filsafat dari gabungan keduanya.
Filsafat
Barat adalah hasil pemikiran radikal oleh para filosof Barat sejak abad
pertengahan sampai abad modern. Sedangkan Filsafat Islam adalah berpikir bebas,
radikal dan berada pada taraf makna yang mempunyai sifat, corak dan karakter
yang menyelamatkan dan kedamaian hati.
Perjalanan
filsafat Barat dimulai dari masa Yunani Kuno, yang terfokus pada pemikiran asal
kejadian alam secara rasional. Segala sesuatu harus atas dasar logika. Kemudian
masa abad pertengahan filsafat berubah arah menjadi bersifat teosentrik, segala
kebenaran ukurannya adalah ketaatan pada Gereja. Maka mereka banyak yang
berasal dari kalangan pendeta (agamawan). Pada perjalanan berikutnya para
pendeta dogmatis itu ditinggal para ilmuwan yang kemudian beralih pada
pemikiran yang bercorak bebas, radikal, dan rasional yang realis.
Filsafat
Islam segala bentuk pemikiran ilmuwan muslim yang mendalam secara teoritis
maupun empiris, bersifat universal yang berlandaskan Wahyu. Filsafat Islam
merupakan pengembangan filsafat Plato dan Aristoteles yang telah dilandasi
dengan ajaran Islam dan memadukan antara filsafat dan Agama, filsafat yang
berciri religius dan berusaha sekuat tenaga memasukkan teks agama dengan akal.
Tujuan Filsafat barat dan filsafat islam sebenarnya hampir sama. Namun
karena terjadinya perbedaan agama maka pada filsafat islam ada yang
membatasinya, yaitu menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan
mempergunakan akal sampai pada hakikatnya, jadi dalam filsafat objeknya tidak
membatasi diri. Dalam filsafat membahas tentang objeknya sampai kedalamannya, sampai
ke radikal dan totalitas.
C. Latar Belakang Lahirnya Filsafat
Islam, dan Tokoh-tokohnya
Sejarah
filsafat Islam tidak dapat dilepaskan dari filsafat Yunani. Filsafat Yunani
dikembangkan oleh Alexander Agung yang sering juga dikenal Iskandar Zulkarnain.
Alexander Agung adalah Raja Macedonia yang juga merupakan murid dari
Aristoteles. Cita-cita Alexander ingin menguasai Mesir karena Mesir dianggap
tempat yang strategis untuk mengembangkan kekuasaan dan peradaban. Ternyata
keinginannya terwujud, sehingga dia tidak hanya menguasai Mesir, tetapi juga
Syiria dan sebagian India.
Alexander
mencoba memperkenalkan filsafat dan budaya Yunani di daerah jajahannya dengan
cara menganjurkan para prajurit dan intelektual Yunani untuk mengawini penduduk setempat sehingga
mereka betah hidup di tempat yang dikuasai. Transformasi inilah yang menjadi
cikal bakal perkembangan filsafat dan peradaban Yunani di luar wilayah Yunani.
Karena itu, tidak heran wilayah yang dikuasainya lebih maju dibandingkan dengan
Yunani sendiri. Peradaban Yunani lebih berkembang di Mesir, Syiria dan
Yudinsapur. Perkembangan peradaban filsafat Yunani di luar Yunani disebut
Hellenisme.
Hellenisme
memiliki pengaruh masuknya filsafat dalam Islam. Sebab, ketika Islam berhasil
menaklukan Mesir, Syiria dan Baghdad, wilayah tersebut sudah maju oleh
peradaban Yunani. Pada masa al-Ma’mun, Harun al-Rasyid dan al-Amin berusaha
mengembangkan tradisi tersebut dengan memberikan dorongan dan intensif yang
cukup besar bagi perkembangan filsafat dan ilmu. Jadi dapat dikatakan bahwa
perhatian khalifah yang begitu besar bagi perkembangan ilmu dan filsafat
merupakan salah satu faktor peradaban Islam maju dan dapat dibanggakan.
Disamping itu, ayat-ayat Al-Qur’an mendorong umat Islam untuk selalu
memaksimalkan daya akalnya. Perjumpaan tradisi Islam dengan tradisi-tradisi
yang sudah maju merupakan faktor lain yang cukup dominan dalam memberikan
kontribusi positif bagi kemajuan ilmu dan filsafat di dunia Islam. Kemajuan
Islam relatif mudah diraih karena bibit kemajuan sudah berkembang di wilayah
tersebut. Begitu juga filosof dan ilmuwan muslim bermunculan seiring dengan
kemajuannya.8[3]
Tokoh
filosof Islam yang terkenal di dunia sangatlah banyak, namun beberapa tokoh
yang sudah banyak dikenal antara lain :
1.
AL-KINDI
Falsafat baginya adalah pengetahuan
tentang yang benar. Tuhan dalam falsafatnya tidak mempunyai hakikat dalam arti aniyah maupun hamiyah. Tidak aniyah karena Tuhan tidak masuk dalam benda-benda
yang ada dalam alam. Tidak hamiyah karena Tuhan tidak merupakan genus atau species.
Sesuai paham dalam Islam, Tuhan bagi Al-Kindi adalah pencipta dan bukan
penggerak pertama sebagaimana pendapat Aristoteles.9
2.
AL-RAZI
Seorang rasionalis yang hanya
percaya pada kekuatan akal dan tidak percaya pada wahyu dan perlunya Nabi-nabi.
Ia berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk mengetahui yang baik dan yang
buruk, untuk tahu pada Tuhan dan mengatur hidup manusia di dunia ini.10
3.
AL-FARABI
Berkeyakinan bahwa falsafat tak
boleh dibocorkan dan sampai ke tangan orang awam. Oleh karena itu, para filosof
harus menuliskan pendapat-pendapat dalam gaya bahasa yang gelap agar jangan
diketahui oleh sembarang orang. Ia mengatakan bahwa agama dan falsafat tidak
bertentangan, keduanya sama-sama membawa kepada kebenaran.11
4.
IBN THUFAIL
Menurutnya, filsafat dan agama
adalah selaras, bahkan merupakan gambaran dari hakikat yang satu. Yang
dimaksudkan agama di sini adalah batin dan syari’at. Dia juga menyadari adanya
perbedaan tingkat akal antara sesama manusia.
5.
IBN RUSYD
Sebagai filsuf besar, juga memikirkan,
membahas dan memecahkan masalah-masalah yang pernah dipikirkan oleh
filsuf-filsuf sebelumnya. Ia tidak menerima begitu saja pikiran-pikiran mereka,
tetapi mereka menerima yang setuju dan menolak yang sebaliknya.
6.
NASHIRUDDIN THUSI
Filsafat pertama meliputi alam
semesta dan hal-hal yang berhubungan dengan alam semesta. Termasuk dalam hal
ini pengetahuan tentang ketunggalan dan kemajemukan, kepastian dan kemungkinan,
esensi dan eksistensi, kekekalan dan ketidakkekalan. Bagi dia Tuhan tidak perlu
dibuktikan secara logis. Eksistensi Tuhan harus diterima dan dianggap sebagai
postulat, bukannya dibuktikan. Mustahil bagi manusia yang terbatas untuk
memahami Tuhan di dalam keseluruhan-Nya, termasuk membuktikan eksistensi-Nya.12
7.
SUHRAWARDI AL-MAQTUL
Menggunakan istilah atau lambang
yang berbeda dari biasanya dipahami orang banyak. Seperti barzah, tidak
berkaitan dengan persoalan kematian. Namun istilah tersebut adalah ungkapan
pemisah antara dunia cahaya dengan dunia kegelapan. Timur dan Barat tidak berhubungan
dengan letak geografisnya, tetapi berlandaskan pada penglihatan horizontal yang
memanjang dari Timur ke Barat. Jadi, makna Timur diartikan sebagai Dunia Cahaya
atau Dunia Malaikat yang bebas dari kegelapan dan materi, sedangkan Barat
adalah Dunia Kegelapan dan Materi. Barat Tengah adalah langit-langit yang
menampakkan pembauran antara cahaya dengan sedikit kegelapan. Timur yang
sebaliknya adalah apa yang berada dibalik langit yang kelihatan, dan apa yang
di atasnya, maka batas antara Timur dan Barat bukanlah falak bulan seperti
dalam filsafat Aristotelian, tetapi ia adalah langit bintang-bintang tetap,
atau penggerak yang tidak bergerak.13
8.
MULLA SHADRA
Menurutnya, filsafat dibedakan
menjadi dua pembagian utama yaitu :
1)
Bersifat teoritis, yang mengacu
kepada pengetahuan tentang segala sesuatu sebagaimana adanya. Perwujudannya
tercermin dalam dunia akal, termasuk jiwa didalamnya sebagaimana yang
dikemukakan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina.
2)
Bersifat praktis, yang mengacu pada
pencapaian kesempurnaan-kesempurnaan yang cocok bagi jiwa. Perwujudannya adalah
mendekatkan diri kepada Tuhan. Ia juga meyakini adanya titik temu antara
filsafat dan agama sebagai kesatuan kebenaran yang dapat dibuktikan melalui
mata rantai historis yang berkesinambungan dari Adam sampai Ibrahim,
orang-orang Yunani, para sufi Islam dan para filsuf.14
D. Pokok-pokok yang dibahas dalam
filsafat Islam
- Emanasi
Emanasi
adalah teori yang dikemukakan oleh
Plotinus, yang terkenal dengan sebutan aliran Neo-Platinisme. Prinsip
teori emanasi adalah penjelasan tentang munculnya yang banyak dari yang satu
atau terjadinya alam dari sumber yang pertama. Dalam bahasa agama sering
dinamakan dengan penciptaan, yakni bagaimana Tuhan menciptakan alam ini. Proses
ini merupakan proses otomatis tanpa kehendak, bagaikan munculnya panas dari api
dan cahaya dari matahari. Persoalan tentang terciptanya alam merupakan
persoalan parenial yang sampai saat ini belum terpecahkan secara baik.
Al-Farabi, Filosof muslim yang terkenal menguraikan teori emanasi secara lebih
rinci. Al-Farabi menggunakan teori emanasi, yang dalam bahasa arab disebut nazhariyat Al-faidh (teori limpahan).
Karena sesuatu kalau sudah sempurna akan melimpah, bagaikan gelas jika terus
diisi dengan air akan melimpah. Begitu juga Tuhan yang maha sempurna akan
melimpah dari dirinya kesempurnaan juga.[4]
- Jiwa/ruh
Jiwa dalam
bahasa arab disebut dengan nafs atau ruh, sedangkan dalam bahasa inggris soul atau spirit adalah
unsur immateri dalam diri manusia. Jiwa tidak dapat dipisahkan dari tubuh,
begitu juga sebaliknya karena tanpa salah satu dari keduanya, seseorang tidak
dapat dikatakan manusia. Kendati jiwa adalah unsur pokok dalam diri manusia,
persoalan hakikat jiwa, hubungan jiwa dengan badan dan keabadian jiwa tidak
mudah dipecahkan. Karena itu, tidak heran para ahli agama, filosof, sufi, dan
psikolog sampai sekarang masih terus berusaha mengkaji dan mendalami tentang
eksistensi jiwa. Dalam kitab-kitab suci agama pun, ungkapan jiwa termasuk
bahasan yang penting karena terkait dengan kepercayaan pokok, yaitu percaya
akan hari akhirat, yang didalamnya terkandung makna keabadian jiwa.
Dalam
Al-Qur’an, jiwa diungkapkan denga kata nafs atau ruh, yang artinya tidak
selalu sama karena nafs sendiri tidak satu artinya, ada yang berarti
jiwa, hati, dan jenis. Sedangkan ruh yang berarti jiwa, malaikat jibril, dan
wahyu. Kendati terdapat persamaan arti antara nafs dan ruh, dalam mu’jam
Al-wasith, ruh dan nafs dibedakan. Ruh adalah yang menghidupkan nafs
dan esensi ruh lebih halus daripada nafs. Pengertian ini tampaknya
diperkuat oleh M. Quraish Shihab, yang mengatakan bahwa nafs dalam
Al-Qur’an menggambarkan totalitas manusia atau kepribadian seseorang yang
membedakannya dengan orang lain. Dia mengutip pendapat Abdul Karim Al-Khatib,
salah seorang ulama islam kontemporer, yang cenderung memahami jiwa sebagai
suatu hasil perpaduan antara jasmani dan ruhani manusia, perpaduan yang
kemudian menjadikan yang bersangkutan mengenal perasaan, emosi, dan
pengetahuan, serta dikenal dan dibedakan dengan manusia lainnya. Sedangkan Ibn
Katsir berpendapat bahwa nafs dan ruh adalah sama, yaitu zat yang halus
menjalar didalam tubuh, seperti mengalirnya air dalam akar pohon-pohonan.
Ibnu
Miskawih, filosof etika, berpendapat bahwa jiwa adalah substansi sederhana,
tidak dapat diindera, jiwa bukanlah tubuh, bukan juga bagian dari tubuh, dan
bukan pula materi. Jiwa itu satu dan lebih luas dari pada materi karena jiwa
dapat menerima sesuatu yang berlawanan pada saat yang bersamaan, seperti warna
putih dan hitam, sedangkan tubuh tidak dapat menerima kedua warna itu
bersamaan. Jiwa juga tidak dapat diukur dengan ukuran panjang atau lebar
sebagaimana mengukur benda karena jiwa tidak akan berubah lebih panjang atau
lebih lebar.
Ibnu Sina
meyakini benar bahwa jiwa adalah unsur yang berbeda dari tubuh dan memiliki
karakter spesifik. Untuk mejelaskan perbedaan tersebut dan sekaligus memperkuat
adanya jiwa. Ibn Sina mengemukakan empat argumen, yaitu:
1)
Argumen psiko fisik, yaitu setiap
benda harus tunduk pada hukum alam, contohnya batu harus jatuh kebawah dan
tidak bergerak, tetapi ternyata manusia adalah benda yang bisa bergerak. Gerak
manusia ini tentu tidak digerakkan oleh tubuh itu sendiri, tetapi ada unsur
luar yang menggerakkannya, yang disebut jiwa.
2)
Aku dan fenomena psikologis, yaitu
ketika seseorang mengatakan aku mau tidur, maka yang dimaksudnya bukan kakinya
bergerak dan matanya tertutup, tetapi
yang dimaksud aku adalah keseluruhan dirinya yang satu dan itu adalah jiwa.
3)
Argumen kontinuitas, yaitu
pengetahuan seseorang selalu sambung-menyambung dari yang dulu , sekarang, dan
yang akan datang tanpa terputus. Seseorang dapat mengingat masa lalu, dan
berada pada saat ini, kemudian dapat memprediksi masa yang akan datang, yang
semua itu menunjukkan adanya aktivitas yang dilakukan oleh unsur selain badan,
yang disebut jiwa.
4)
Argumen manusia terbang, yaitu
diandaikan ada seseorang yang lahir dengan kesempurnaan akal dan tubuh kemudian
ditutup matanya, sehingga tidak dapat melihat kemudian diterbangkan di udara
kosong tanpa bersentuhan dengan benda apapun, maka dapat dikatakan bahwa jiwa
itu ada karena dia dapat mengkhayalkan adanya kaki dan tangan. Jelas bahwa
khayalannya tentang kaki dan tangan bukan berasal dari indera, tetapi unsur
yang lain, yaitu jiwa.
Ibnu Sina meyakini bahwa jiwa akan kekal setelah mati
karena jiwa manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Jiwa tidak
akan mati ketika kematian tubuh karena jiwa adalah unsur yang sama sekali
berbeda dengan tubuh dan tidak mungkin jiwa tergantung pada tubuh. Hubungan
antara tubuh dan jiwa bukanlah hubungan yang kausal dan keharusan, tetapi
bagaikan hubungan tuan dan hamba, yaitu tuan tidak terpengaruh dengan perubahan
yang menimpa hambanya. Karena itu, jiwa tidak terpengaruh oleh perubahan yang
terjadi pada badan karena tidak hanya mendapat balasan didunia saja, tetapi
nanti pada hidup kedua di akhirat. Jika jiwa manusia telah mencapai
kesempurnaan sebelum berpisah dengan badan, maka dia akan mengalami kesenangan
untuk selamanya, dan jika dia berpisah dengan badan dengan keadaan yang tidak
sempurna, karena waktu bersatu dengan tubuh dipengaruhi hawa nafsu, maka ia
akan hidup dalam keadaan menyesal untuk selamanya.
- Akal
Permasalahan
akal merupakan bagian yang menjadi pembahasan tidak saja dalam filsafat islam,
tetapi juga dalam teologi dan bahkan hampir di semua aspek dalam bidang
keilmuan islam. Dalam fiqih umpamanya, akal merupakan bagian yang amat pokok
untuk berijtihad karena setelah Al-Qur’an dan hadits, akal lah yang berperan
menentukan suatu hukum. Hadits nabi juga menegaskan bahwa jika ditemukan
penyelesaian suatu persoalan dalam Al-qur’an dan hadits, maka hendaklah
berijtihad dengan akal. Karena itu, wajar kemudian akal merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari pembahasan bagian keilmuan dalam islam.
Peranan akal
dalam teologi mu’tadzilah amat besar jika dibandingkan dengan Asy-Ariyah. Bagi
mu’tadzilah manusia sudah harus melakukan kebaikan dan meninggakan keburukan
kendati belum diutus rasul karena Tuhan memberi daya akal kepada manusia untuk
membedakan antara yang baik dan yang buruk.
Menurut
Al-Kindi, akal terbagi atas empat: pertama akal yang selalu bertindak; kedua,
akal yang secara potensial berada dalam ruh; ketiga, akal yang berubah di dalam
ruh dari daya menjadi aktual; dan keempat, akal yang kita sebut akal kedua.15[5]
Akal menurut
Al-Razi merupakan limpahan dari Tuhan. Akal diciptakan oleh Tuhan untuk
menyadarkan jiwa yang terlena dalam fisik manusia, bahwa tubuh itu bukanlah
tempat yang sebenarnya, serta bukan tempat kebahagiaan dan tempat abadi.
Kesenangan dan kebahagian yang sebenarnya adalah melepaskan diri dari materi
dengan jalan berfilsafat.16
- Teori kenabian
Kenabian
merupakan salah satu pembahasan yang dibicarakan oleh para filosof Islam karena
persoalan ini terkait erat dengan pelimpahan dari Akal Aktif (Jibril) kepada
para nabi dan filosof. Jika para nabi
mendapatkan wahyu dari jibril, maka filosofpun[6] dapat berhubungan
dengan jibril yang dalam istilahnya disebut Akal Aktif. Persoalan berikutnya
adalah jika nabi dan filosof sama-sama dapat berhubungan dengan Jibril, apa
perbedaan nabi dan filosof. Dalam kata lain apakah kedudukan nabi dan filosof
sama atau berbeda. Kalau sama di mana letak persamaannya jika berbeda dimana
letak perbedaannya.
Dalam
beberapa hal nabi dan filosof sama, yakni dapat berhubungan dengan Jibril, baik
ketika bangun maupun ketika tidur. Sedangkan filosof hanya dapat berhubungan
dengan Jibril hanya ketika tidur saja. Di samping itu, nabi berhubungan dengan
perantara hidayah, sedangkan filosof lewat perantara akal mustafad. Persoalan
inilah yang kemudian dibicarakan oleh para filosof-filosof muslim.
Menurut
Al-Farabi, dasar setiap agama langit adalah wahyu dan inspirasi. Seorang nabi
adalah seseorang yang dianugerahi kesempatan untuk dapat langsung berkomunikasi
dengan Tuhan dan diberi kemampuan untuk menyatakan kehendak-Nya. Islam,
sebagaimana agama-agama langit lainnya, mempunyai Tuhan sebagai penguasa.
Al-Qur’an mengatakan: “ Ia tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan Tuhan
Yang Maha Kuasa telah mengajarnya.” (QS. 53: 4-5).
Al-Razi
adalah seorang tokoh filsafat yang kontroversial yang mengikuti aliran
rasionalis murni. Oleh karena itu, ia berpandangan manusia tidak membutuhkan
adanya nabi yang tugasnya mengatur kehidupan manusia agar teratur. Manusia bisa
teratur dalam menata kehidupannya dengan adanya akal yang diberikan oleh Tuhan
kepada manusia sebagai karunia yang terbesar. Jadi, menurutnya hanya dengan
akal-lah manusia dapat hidup teratur tanpa nabi sekalipun.17
Adapun
menurut Al-Thusi, manusia mempunyai kebebasan dalam bertindak dan kelak akan
dibangkitkan kembali tubuhnya. Setelah menetapkan kebebasan berkehendak dan
kebangkitan kembali tubuh, Al-Thusi lalu menetapkan perlunya kenabian dan
kepemimpinan spiritual. Pertentangan minat serta kebebasan individu
mengakibatkan tercerai-berainya kehidupan sosial, dan ini memerlukan aturan
suci dari Tuhan untuk mengatur urusan-urusan manusia.18[7]
Pendapat
tersebut membawa konsekwensi beraganya minat serta dimungkinkannya terjadi
kekacauan dalam kehidupan sosial. Untuk itu diperlukan aturan suci dari Tuhan
untuk mengatur kehidupan manusia. Oleh karena Tuhan berada di luar jangkauan
indera, maka Dia mengutus nabi untuk menuntun manusia. Jadi kehadiran nabi
sangat diperlukan manusia, termasuk dalam hal kepemimpinan spiritual untuk
melanjutkan aturan suci yang ditetapkan para nabi.
- Eskatologi
Iman pada
hari akhirat dalam Islam merupakan rukun iman setelah iman kepada Tuhan. Jika
seseorang tidak mengimani kebangkitan di hari akhirat, maka dia berhak di cap
kafir. Al-Ghazali, yang terkenal dengan julukan hujjatul Islam. Mencap
filosof kafir karena filosof mengimani kebangkitan ruhani dan menolak
kebangkitan jasmani. Persoalannya adalah apakah benar filosof itu kafir
sebagimana dituduhkan Al-Ghazali. Kalau benar apakah kafir mereka sama dengan
kafir musyrik. Persoalan inilah yang kemudian mendapat reaksi cukup keras dari
Ibn Rusyd, sehingga menulis buku khusus, yang berjudul Tahafut Al-Tahafut untuk
menjawab tuduhan Al-Ghazali tersebut.
Persoalannya
kemudian adalah bagaimana sebenarnya posisi Al-Ghazali yang menggugat para
filosof dan bagaimana juga posisi Ibn Rusyd dalam menjawab tuduhan Al-Ghazali
tersebut. Bentuk perdebatan dengan argument masing-masing inilah yang cukup
menarik untuk dikaji dan didalami karena kedua tokoh ini cukup memiliki
pengaruh besar dalam pola pemikiran umat Islam sampai sekarang. Karena itu, ini
tidak bertujuan untuk menilai mana yang benar dan salah, tetapi untuk
menjelaskan secara proporsional dan objektif suatu perdebatan yang berkualitas.
Penilaian diserahkan kepada pembaca mana yang dianggapnya benar atau salah.
- Kebaikan dan kejahatan
Adanya
kejahatan di jagad raya merupakan masalah yang tidak henti-hentinya
diperdebatkan, terutama oleh agamawan dan ilmuwan. Masalah yang mendasar, terutama
bagi teisme, adalah kenapa kejahatan itu ada, padahal Tuhan Pencipta, maha
kuasa, dan sumber kebaikan. Salah satu susunan argument ateisme menolak teisme
adalah sebagai berikut :
a.
Jika Tuhan maha baik, tentu Dia akan
membasmi kejahatan
b.
Jika Tuhan maha kuasa, tentu Dia
mampu menghancurkan kejahatan
c.
Tetapi Kejahatan belum terhapus
d.
Karena itu, Tuhan tidak ada.19[8]
- Alam antara Qadim dan Baharu
Perbincangan
mengenai penciptaan alam dan sifat alam merupakan salah satu hal yang krusial,
dalam teologi Islam maupun dalam filsafat Islam. Sebab jika alam qadim
sedangkan Tuhan juga qadim, maka tentu ada 2 yang qadim. Dua yang qadim
bertentangan dengan ajaran dasar Islam yang menegaskan bahwa hanya Tuhan
satu-satunya zat yang qadim, selain Tuhan adalah baharu dan ciptaan-Nya.
Perdebatan inilah yang muncul di kalangan filosof karena mereka di tuduh
memprakarsai alam qadim. Apakah benar alam qaim menurut filosof atau tidak
bahkan mereka yang menuduh filosof mengatakan alam qadim salah memahami
pandangan filosof.
Menurut Al-Kindi, Tuhan menciptakan alam dari tidak
ada karenanya alam adalah baharu. Penciptaan alam adalah proses dari yang
tertinggi sampai yang terendah. Akal adalah yang tertinggi dan materi adalah
yang terendah. Namun, dalam pemikiran Al-Kindi tidak jelas apakah dia menganut
teori emanasi tentang penciptaan atau tidak karena tidak ada tulisannya yang
terperinci tentang itu.
- Pengetahuan Tuhan
Salah satu
persoalan yang diperdebatkan kalangan teolog da filosof adalah mengenai
pengetahuan Tuhan apakah Tuhan mengetahui hal-hal yang terperinci, seperti
apakah Tuhan mengetahui semut hitam berjalan di malam gelap diatas batu hitam.
Persoalannya adalah jika Tuhan mengetahui hal-hal yang terperinci, maka Tuhan
amat sangat sibuk dan apa gunanya Tuhan mengetahui semua itu. Jika Tuhan tidak
mengetahui tentu di samping terkesan Dia tidak mengetahui, juga tidak sesuai
dengan ayat Al-Qur’an yang menjelaskan Tuhan Maha Mengetahui.
Persoalan inilah yang diperdebatkan secara panjang
lebar antara teolog dan filosof. Abu Barakat Al-Bagdadi berkomentar tentang
persoalan tersebut, “Para pemikir kontemporer dan tradisional berbeda pendapat
tentang pengetahuan Tuhan mengenai hal-hal yang terperinci. Sebagian mereka
berpendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui selain zat dan sifat-Nya. Adapun
sebagian yang lain mengatakan bahwa Tuhan mengetahui zat dan juga semua
makhluk-Nya dalam berbagai keadaan, baik yang sekarang maupun yang akan datang.
Sisanya berpendapat bahwa Tuhan mengetahui zat sifat-sifat global, dan wujud
yang abadi lewat zat-Nya. Bagi pendapat yang terakhir ini Tuhan tidak
mengetahui hal-hal yang terperinci dan berbagai perubahan di jagad raya.20[9]
- Hukum kausalitas
Teori
kausalitas adalah salah satu sumbangan terbesar filsafat pada ilmu. Ilmu
menjadikan teori kausalitas sebagai dasar pijakannya. Ilmu kesehatan umpamanya,
harus taat azaz pada hukum sebab akibat. Kalau obat tertentu tidak memberi
kepastian penyembuhan bagi penyakit tertentu, maka akan kacau sistem
pengobatan. Karena itu, obat harus mencapai tingkat kepastian sebagai penyembuh
suatu penyakit. Peristiwa-peristiwa di alam juga tidak terlepas dari hukum
sebab akibat, seperti api membakar dan air membasahi.
Teori kausalitas sudah dikembangkan sejak zaman
Yunani. Aristoteles mempertegas keberadaan teori kausalitas dengan menguraikan
bahwa ada empat macam sebab, yaitu sebab materi, bentuk, efisisen, dan tujuan.
Keempat jenis sebab tersebut saling terkait dan bersatu. Sebab materi dan
bentuk ada dalam benda itu sendiri, sedangkan sebab efisien dan tujuan berada
di luar benda. Keempat sebab berlaku, baik bagi kejadian alam maupun bagi
kejadian yang disebabkan oleh manusia. Aristoteles bermaksud bahwa dengan
penjelasan ini ia memberikan daftar komplit yang memuat semua faktor yang dapat
menyebabkan suatu kejadian. Dalam suatu kejadian keempat jenis sebab itu dapat
dibedakan, paling tidak secara logis.21[10]
- Ruang dan waktu
Dalam sistem
Aristoteles, alam terbatas oleh ruang, tetapi tidak terbatas oleh waktu. Hal
itu dikarenakan gerak alam seabadi Penggerak Tak Tergerakkan (Unmovable
Mover). Keabadian alam ini ditolak dalam pemikiran Islam, karena alam
adalah diciptakan. Untuk itu para filosof muslim mencari jalan keluarnya yang
sesuai dengan agama dan permasalahan tersebut. Tokoh filosof Muslim yang
dianggap ateis karena sependapat dengan Aristoteles bahwa alam ini kekal adalah
Ibn Sina dan Ibn Rusyd.
Al-Kindi
memecahkan masalah tersebut secara radikal dengan gagasan tentang
ketakterhinggaan secara matematik. Ia mengatakan bahwa alam ini tidak kekal.
Benda-benda fisik terdiri atas materi dan bentuk, dan bergerak di dalam ruang
dan waktu. Waktu dan ruang adalah hal yang terbatas, karena keduanya tidak aka
nada kecuali dengan keterbatasan. Waktu bukanlah gerak, tetapi bilangan
pengukur gerak, karena waktu tak lain adalah yang dahulu dan yang akan datang.
Bilangan terdiri atas dua macam, yaitu tersendiri dan berkesinambungan. Oleh
karena itu, waktu adalah berkesinambungan yang dapat ditentukan, yang berproses
dari dulu hingga kelak.
E. Menyikapi perbedaan pendapat
filsafat Islam dan manfaatnya
Banyak sekali ayat Al-Qur’an dan
Hadits Nabi yang melarang perpecahan (iftiraq) dan perselisihan (ikhtilaf),
namun apabila kita mencermati, akan tampak oleh kita bahwa yang dimaksud adalah
berbeda pendapat dalam masalah-masalah prinsip atau Ushul yang berdampak kepada
perpecahan. Adapun berbeda pendapat dalam masalah-masalah cabang agama atau
Furu’, maka hal ini tidaklah tercela dan tidak boleh sampai berdampak atau
berujung pada perpecahan, karena para sahabat juga berbeda pendapat akan tetapi
mereka tetap bersaudara dan saling menghormati satu dengan yang lain tanpa
saling menghujat atau melecehkan dan menjatuhkan.
Yang menarik, dalam mengemukakan
berbagai pendapatnya, ulama-ulama Islam, terutama yang diakui secara luas
keilmuannya, mampu menunjukkan kedewasaan sikap, toleransi, dan objektivitas
yang tinggi. Mereka tetap mendudukkan pendapat mereka di bawah Al Quran dan
Hadits, tidak memaksakan pendapat, dan selalu siap menerima kebenaran dari
siapapun datangnya. Dapat dikatakan, mereka telah menganut prinsip relativitas
pengetahuan manusia. Sebab, kebenaran mutlak hanya milik Allah. Mereka tidak
pernah memposisikan pendapat mereka sebagai yang paling absah sehingga wajib
untuk diikuti, dan menolak pendapat lain sehingga menganggapnya sebagai sesuatu
yang bertentangan dengan agama.
“Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan
pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.” Demikian
ungkapan yang sangat populer dari Imam Syafi’i.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Dari uraian mengenai Filsafat Islam diatas, dapat
disimpulkan bahwa;
- Filsafat
berasal dari kata Yunani yaitu philos
(keinginan) dan Sophia (kebenaran)
jadi, filsafat adalah cinta kepada ilmu pengetahuan atau kebenaran, suka
kepada hikmah dan kebijaksanaan. Adapun filsafat Islam adalah
pemikiran-pemikiran filsafat yang memberikan kontribusi pada Islam dan
sebaliknya Islam menggunakan filsafat untuk memperkuat prinsip-prinsip
agama.
- Filsafat
Barat adalah hasil pemikiran radikal oleh para filosof Barat sejak abad
pertengahan sampai abad modern. Sedangkan Filsafat Islam adalah berpikir
bebas, radikal dan berada pada taraf makna yang mempunyai sifat, corak
dan karakter yang menyelamatkan dan kedamaian hati.
- Filsafat
Islam berawal dari filsafat Yunani yang telah dipelajari sebelumnya oleh
bangsa taklukan Islam seperti Mesir, Baghdad dan Syiria yang kemudian
diteruskan secara intensif oleh para Khalifah. Tokoh-tokoh filsafat Islam
yaitu : AlKindi, Ibnu Rusyd, Al Razi, Ibn Thufail, Al Farabi, Suhrawardi
Al Maqtul, Mulla Shadra, Nashiruddin Thussi, dll.
- Pokok-pokok
yang dibahas dalam filsafat Islam yaitu ;
a.
Prinsip teori emanasi adalah
penjelasan tentang munculnya yang banyak dari yang satu atau terjadinya alam
dari sumber yang pertama.
b.
Jiwa dalam bahasa arab disebut
dengan nafs atau ruh,
sedangkan dalam bahasa inggris soul atau
spirit adalah unsur immateri dalam
diri manusia. Jiwa tidak dapat dipisahkan dari tubuh, begitu juga sebaliknya
karena tanpa salah satu dari keduanya, seseorang tidak dapat dikatakan manusia.
c.
Akal, merupakan bagian yang amat
pokok karena digunakan untuk berijtihad dan membantu manusia agar tidak terlena
oleh materi.
d.
Filosof berkomunikasi melalui mimpi
sedangkan nabi diberi kemampuan untuk berkomunikasi secara langsung maupun dalam
mimpi. Dan kenabian menjadi penting karena jika manusia hanya menggunakan akal
maka akan terjadi kerusakan dan karena itu perlu adanya suatu petunjuk suci
dari-Nya.
e. Eskatologi =
Iman pada hari akhirat dalam Islam merupakan rukun iman setelah iman kepada
Tuhan.
f. Kebaikan dan
kejahatan,
g. Alam, antara
qodim dan baru, menurut alKindi, alam itu baru. Penciptaan alam dimulai dari
yang tertinggi hingga yang terendah.
h. Pengetahuan
Tuhan.
i.
Hukum kausalitas(sebab-akibat)
j.
Ruang dan waktu.
- Sikap
kita dalam menyikapi perbedaan pendapat yaitu saling bertoleransi dalam
masalah cabang agama sedangkan dalam masalah ushul hendaknya kita saling
mengingatkan.
- Saran
Kami selaku
penulis memohon kepada para pembaca agar memberikan kritik dan saran atas
makalah kami karena pasti kami tidak akan lepas dari kekeliruan-kekeliruan.
BAB IV
LAMPIRAN
www.muslimheritage.com Medanexpress.com
Nashiruddin thusi,syafieh.blogspot.com
Suhrawardi Almaqtul, syafieh.blogspot.com
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Salim, Hasan Basri, & Abd. Rozak
Sastra. 2010. STUDI ISLAM 2. Jakarta: UIN Jakarta.
Nata, Abuddin. 2001. Ilmu kalam,
Filsafat, dan Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Bakhtiar, Amsal. 2005. Tema-tema
Filsafat Islam. Ciputat: UIN Jakarta Press
Fuad, al-Ahwani Ahmad. 2008.
Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.
2Ibid, h. 432
3Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang 1973), h. 23.
4K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius 1981), h. 155
4K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius 1981), h. 155
5Ibid, h. 43
6Amsal Bakhtiar, Tema-tema Filsafat Islam,
(Jakarta: UIN Jakarta Pers, 2005), h. 9.
8 Amsal Bakhtiar, Tema-tema Filsafat Islam, (Jakarta: UIN Jakarta
Pers, 2005), h. 15.
9 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 17.
9 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 17.
10
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h.
26.
11 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 35.
11 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 35.
sangat bermnfaat, izin share y akhi waa ukhti
BalasHapusSangat bermanfaat, semoga menjadi berkah bagi penulis maupun pembaca
BalasHapusizin comot yaa gan, buat bahan makalah