MAKALAH
“TEOLOGI ISLAM”
Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Islam
semester dua.
Disusun oleh :
(Kelompok 1, Kelas Farmasi B)
Nur Amelia Khodijah 11151020000055
Zahrotul Anis 11151020000060
Afifah Amatullah 11151020000066
Sahrul Fauzi 11151020000090
Dosen Pembimbing : Siti Nadroh , M.Ag
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
MARET 2016
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga dalam pembuatan makalah
ini dapat terselesaikan sebagaiman mestinya. Salam dan shalawat semoga tetap
tercurah kepada rasulullah Muhammad SAW, kepada sahabat-sahabatnya, dan kepada
umatnya hingga akhir zaman.
Pertama-tama
kami mengucapkan terima kasih kepada dosen yang dengan kegigihan dan keikhlasannya membimbing kami
sehingga kami bisa mengetahui sedikit demi sedikit apa yang sebelumnya kami
tidak ketahui. Juga tak lupa teman-teman seperjuangan yang telah membantu kami
dalam pembuatan makalah ini.
Makalah
ini kami buat dengan sesederhana mungkin dan jika ada kesalahan dalam penulisan
makalah ini, kami berharap dan memohon saran serta kritikan dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini ke depannya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.
Ciputat,
20 Maret 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................... ............2
Daftar isi.......................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................... 4
B. Rumusan Masalah................................................................... 4
C. Tujuan Makalah...................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Teologi Islam......................................................... 5
B. Perbedaan Teologi dengan
Ilmu Tauhid, Aqidah,
Keimanan dan Ushuluddin....................................................... 6
C. Sejarah Lahirnya Teologi
Islam............................................. 10
D. Pokok-pokok Masalah dalam
Teologi Islam......................... 25
E.
Menyikapi Perbedaan Paham Teologi Islam.......................... 30
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA.................................................................... 32
TABEL........................................................................................... 33
LAMPIRAN.................................................................................. 39
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Ilmu teologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang tuhan dan segala
yang berkaitan dengan-Nya. Imu teologi
termasuk salah satu nama lain
dari ilmu kalam.
Nama-nama lain dari ilmu
kalam selain
teologi islam
adalah ilmu
tauhid, aa’id dan ushuluddin.
Banyak sekali masayarakat umum yang beragama islam
tidak mengetahui tentang pengetahuan dari agama yang mereka anut, terutama muslim. Maka dari itu, kami sebagai penulis
membuat makalah ini agar masyarakat bisa lebih
memahami arti dari keyakinan kita terhadap islam
dan juga bisa mengenal
tuhan kita yaitu Allah
SWT secara lebih mendalam.
B.
RumusanMasalah
a. Mengetahui pengertian dari teologi islam
b.
Mengetahui perbedaan
antara ilmu teologi dengan ilmu-ilmu lainnya
c.
Mengetahui sejarah adanya
teologi dalam islam
d. Mengetahui pokok-pokok masalah dalam teologi islam
e.
Mengetahui cara dalam
menyikapi perbedaan dalam teologi islam
C.
TujuanMakalah
Setelahterselesaikannyamakalahini,
semogamakalahinidapatmembermanfaatbagipembacadanlebihmemahamilagiapaitu teologi islam, perbedaanya dengan ilmu-ilmu yang lain
serta masalah-masalah yang ada didalamnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Teologi Islam
Teologi menurut bahasa yunani yaitu theologia. Yang
tersusun dari kata theos yang berarti
tuhan atau dewa, dan logos yang artinya ilmu. Sehingga teologi adalah
pengetahuan ketuhanan . menurut William L. Resse, Teologi berasal dari bahasa
Inggris yaitu theology yang artinya discourse or reason concerning god (diskursus
atau pemikiran tentang tuhan) dengan kata-kata ini Reese lebih jauh mengatakan,
“teologi merupakan disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran wahyu serta
independensi filsafat dan ilmu pengetahuan. Gove mengatkan bahwa teologi
merupakan penjelasan tentang keimanan, perbuatan, dan pengalaman agama secara
rasional[1].
Sedangkan pengertian teologi islam
secara terminologi terdapat berbagai perbedaan. Menurut abdurrazak, Teologi
islam adalah ilmu yang membahas aspek ketuhanan dan segala sesuatu yang berkait
dengan-NYA secara rasional. Muhammad Abduh :
“ Tauhid adalah
ilmu yang membahas tentang wujud Allah, tentang sifat yang wajib tetap
pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, sifat-sifat yang sma
sekali wajib di lenyapkan dari pada-Nya; juga membahas tentang Rasul-rasul
Allah, meyakinkan keyakinan mereka, meyakinkan apa yang ada pada diri mereka,
apa yang boleh di hubungkan kepada diri mereka dan apa yang terlarang
menghubungkanya kepada diri mereka”[2]
B. Perbedaan Teologi dengan
Ilmu Tauhid, Aqidah,Keimanan dan Ushuluddin
1.
Akidah
Akidah berasal dari kata
aqad berarti pengikatan. Akidah adalah apa yang diyakini seorang. Jika
dikatakan, : dia mempunyai aqidah yang benar”, berarti akidahnya bebas dari
keraguan. Akidah merupakan perbuatan hati, yaaitu kepercayaan hati dan
pembenaranny terhadap sesuatu. Adapun makna Akidah secara Syara’ adalah iman
kepada Allah, paraa Malaikat-Nya, kitab-kitab -Nya, para rasul-Nya, hari akhir,
serta kepada qadarbaaik dan qadar buruk.[3]
Akidah juga dapat
dimaksudkan sebagai pendapat dan fikiran atau anutan yang mempengaaruhi jiwa
manusia, lalu menjadi sebagai suatu suku dari manusia sendiri, dibela dan
dipertahankan bhwa hal itu adalah benar. Harus dipertahankan dan
diperkembangkan.[4]
Syekh Tahir Al Jazairy
(1851-1919) menerangkan bahwa:[5]
“Akidah islam ialah hal-hal yang diyakini oleh
orang-ornagislam, artinya mereka menetapkan aataas kebenarannya.”
Tiap-tiap manusia
mempunyai beberapa i’tikad sedikit ataupun banyak. Semakin banyak pengalamanya
semakin subur ma’firaatnya. Semakin bertambah ilmunya semakin bertambah
pulaai’tikadnya dan lapangnnya.[6]
Akidah yang benar hanya satu, yaitu akidah yang sesuai
dengan akidah Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Akidah Ahlussunnah Wal Jamah
adalah yang sesuai dengan aakidahRasulllah SAW dan akidah para sahabatnya.[7]
2.
Ushuluddin
Ilmu Ushuluddin adalah ilmu yang membahas pokok-pokok
(dasar) agama, yaitu akiah, tauhid, dan I’tikad (keyakinan) tentang rukun Iman
yang enam, beriman kepada:[8]
a.
Allah SWT
b.
Al-Qur’an dan kitab-kitab suci samawi
c.
Nabi Muhammad dan para Rasul
d.
Para Malaikat
e.
Perkara ghaib
f.
Takdir baik dan buruk
Menurut ulama-ulama Ahli Sunnah:
“Ilmu Ushuluddin ialah ilmu yang membahas padanya tentang
prinsip-prinsip kepercayaan agama dengaan dalil-dalil yang qath’I (Al-Quran dan
hadis mutawatir) dan dalil-dalil akal fikiran.”[9]
Sebutan lain bagi Ilmu Ushuludinadalah
Ilmu Teologi (Ketuhanan), karena membahas tentang ke-Tauhidan (ke-Esaan) Allah,
sifat, dan asma (nama) Allah.[10]
Sebutan lain yang lebih populer
adalah Ilmu Kalam karena bahasan yang sedang ramai dibahas pada saat lahirnya
Ilmu Kalam adalah masalah kalam (firman Allah). Disamping itu, pembahasan ilmu
ini menggunakan metode ilmu mantiq (logika) sedangkan kata mantiq secara
etomologibahsa sinonim dengan kalam.[11]
3.
Teologi
Teologi berasal dari bahasa Yunani yaitu “Theos” yang
berarti Tuhan dan “Logos” yang berarti Ilmu, Jadi bila diartikan teologi adalah
Ilmu tentang Tuhan, yaitu suatu pengetahuan yang menyelidiki tentang Tuhan dari
perspektif akal atau pikiran, seperti kebenaran adanya tuhan, bagaimana sifat
dan kehendak tuhan, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, Teologi adalah pengetahuan
tentang Tuhan dan manusia dalam pertaliannya dengan Tuhan, baik disandarkan kepada
wahyu maupun disandarkan pada penyelidikan akal pikiran.
Teologi Islam atau Ilmu Tauhid
memiliki banyak pengertian yang telah diterangkan oleh beberapa teolog dan tokoh-tokoh
pemikir Islam, diantaranya;
Ø
Menurut Syaikh Muhammad Abduh (1849-1905),
“Tauhid ialah ilmu yang membahas tentang wujud Allah
tentang sifat-sifat yang wajib tetap bagi-Nya, sifat-sifat yang jaiz disifatkan
kepada-Nya dan tentang sifat-sifat yang sama sekali yang wajib ditiadakan (mustahil)
daripada-Nya. Juga membahas tentang Rasul-rasul Allah untuk menetapkan kebenaran
risalahnya, apa yang wajib pada dirinya, hal-hal yang jaiz dihubungkan
(dinisbatkan) pada diri mereka dan hal-hal yang terlarang (mustahil)
menghubungkannya kepada diri mereka.”
Ø
Menurut Ibnu Khaldun
(1333-1406),
“Ilmu Tauhid ialah ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan
kepercayaan-kepercayaan iman, dengan mempergunakan dalil-dalil pikiran dan berisi
bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan salaf dan
ahli sunnah”
Ø
Menurut Sayyid Husein Afandi al-Jisr At-Tarabulsi (1845-1909),
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya
ilmu tauhid itu ialah ilmu yang membahas padanya tentang menetapkan
(meyakinkan) kepercayaan agama dengan mempergunakan dalil-dalil yang meyakinkan
(nyata)…………”
4.
Tauhid
Adalah konsep dalam aqidah
Islam yang menyatakan keesaan Allah. Mengamalkan tauhid dan menjauhi syirik
meruakan konsekuensi dari kalimat sahadat yang telah diikrarkan oleh seorang
muslim.[12]
Tauhid
menurut salaafi dibagi menjadi 3 macam, yakni:[13]
1.
Rububiyah
Beriman bahwa hanya Allah satu-satunya Rabb yang
memiliki, merencanakan, menciptakan, mengatur, memelihara, memberi rezeki,
memberikan manfaat, menolak mudharat serta menjaga seluruh Alam Semesta. Sebagaimana
terdaapat dalam Q.S Az-Zumar ayat 62:
“Allah menciptakan segala
sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu”
Hal seperti ini diakui oleh seluruh manusia, tidak ada
seorangpun yang mengingkarinya.
2.
Uluhiyah
Beriman bahwa hanya Allah semata yang berhak disembah,
tidak ada sekutu bagi-Nya. Sesuai dengan fiman Allah dalam Q.S Ali-Imran ayat
18:
“Allah menyatakan bahwa
tida ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang menegakkan kedilan. Para
malaikat dan orang orangyaang berilmu (juga menyatak demikian). Tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) selain Dia yang Mahaperkasa lagi maha Bijaksan.”
3.
Asma wa Sifat
Beriman bahwa Allah memiliki nama dan sifat
baik(asma’ulhusna) yang sesuai dengan keagungan-Nya.[14]
5.
Ilmu kalam atau Keimanan
Kalam menurut bahasa
ialah ilmu yang membicarakan/membahas tentang masalah ke-Tuhanan/ketauhidan
(meng-Esakan Tuhan), atau kalam menurut loghatnya ialah omongan atau perkataan.[15]
Sedangkan menurut istilah Ilmu Kalam ialah sebagai
berikut:
a)
Menurut Ibnu Khaldun, Ilmu Kalam ialah ilmu yang berisi alasan –alasan
mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil pikiran
dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepecayaan
aliran golongan salaf dan ahli sunah
b)
Menurut Husain Tripoli, Ilmu Kalam ialah ilmu yang membicarakan bagaimana
menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan agama Islam dengan bukti- bukti
yang yakin
c)
Menurut Syekh Muhammad
Abduh definisi Ilmu Kalam
adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib bagi-Nya,
sifat-sifat yang jaiz bagi-Nya dan tentang sifat-sifat yang ditiadakan dari-Nya
dan juga tentang rasul-rasul Allah baik mengenai sifat wajib, jaiz dan mustahil
dari mereka
d)
Menurut Al-Farabi definisi Ilmu Kalam adalah disiplin ilmu yang membahas
Dzat dan Sifat Allah beserta eksistensi semua yang mungkin mulai yang berkenaan
dengan masalah dunia sampai masalah sesudah mati yang berlandaskan doktrin
Islam
e)
Menurut Musthafa Abdul
Razak, Ilmu Kalam ialah ilmu
yang berkaitan dengan akidah imani yang di bangun dengan
argumentasi-argumentasi rasional[16]
Adanya nas-nas
yang kelihatannya saling bertentangan, sehingga datang orang- orang yang
mengumpulkan ayat tersebut dan memfilsafatinya. Contohnya; adanya ayat-ayat
yang menunjukkan adanya paksaan (jabr), (Q.S. Al-Baqarah(2): 6,
Al-Muddsir(74):17
C. Sejarah Lahirnya Teologi
Islam
Setelah
‘Usman wafat “ali, sebagai calon terkuat, menjadi khalifah yang keempat. Tetapi
segera ia mendapatkan tantagan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi
khalifah, terutama Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari
‘Aisyah. Tantangan dari ‘Aisyah – Talhah – Zubeir ini dipatahkan ‘Ali dalam
pertempuran yang terjadi di Irak tahun 656.Talhah dan Zubeir mati terbunuh dan
‘Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.
Tantangan
kedua datang dari Mu’awiyah, Gubernur Damaskus dan keluarga yang dekat bagi
‘Usman. Sebagaimana halnya Talhah dan Zubeir, ia tak mau mengakui ‘Ali sebagai
khalifah. Ia menuntut kepada ‘Ali supaya menghukum pembunuh-pembunuh ‘Usman,
bahkan ia menuduh ‘Ali turut campur dalam soal pembunuhan itu.[17]Salah
seorang pemuka pemberontak-pemberotak Mesir, yang dating ke Madinah dan
kemudian membunuh ‘Usman adalah Muhammad Ibn Abi Bakar, anak angkat dari ‘Ali
Ibn Abi Talib.[18]Dan
pula ‘Ali tidak mengambil tindakan keras terhadap pemberontak-pemberontak itu,
bahkan Muhammad Ibn Abu Bakar diangkat menjadi Gubernur Mesir.[19]
Dalam
pertempuran yang terjadi antara kedua golongan ini di Siffin, tentara Ali dapat
mendesak tentara Mu’awiyah sehingga yang tersebut akhir ini bersiap-siap untuk
lari.Tetapi tangan kanan Mu’awiyah, ‘Amr Ibn al-‘As yang terkenal sebagai orang
licik, minta berdamai dengan mengangkat al-Qur’an ke atas.Qurra’ yang ada di pihak ‘Ali mendesak ‘ali supaya menerima tawaran
itu dan dengan demikian dicarilah perdamaian dengan mengadakan arbritase.
Sebagai pengantara diangkat dua orang: ‘Amr Ibn al-‘As dari pihak Mu’awiyah dan
Abu Musa al-‘Asy’ari dari pihak ‘Ali. Dalam pertemuan mereka, kelicikan ‘Amr
mengalahkan perasaan takwa Abu Musa.Sejarah mengatakan antara keduanya terdapat
pemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan, ‘Ali dan
Mu’awiyah.Tradisi menyebutkan bahwa Abu Musa al-Asy’ari, sebagai yang tertua,
terlebih dahulu berdiri mengumumkan kepada orang ramai putusan mejatuhkan kedua
pemuka yang bertentangan itu. Berlainan dengan apa yang telah disetujui, ‘Amr
Ibn al-‘As, mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan ‘Ali yang telah diumumkan
al-‘Asy’ari, tetapi menolak penjatuhan Mu’awiyah.[20]
Bagaimanapun
paristiwa ini merugikan bagi ‘Ali dan menguntungkan bagi Mu’awiyah. Yang legal
menjadi khalifah sebenernya hanyalah “ali, sedangka Mu’awiyah kedudukannya tak
lebih dari Gubernur daerah yang tak mau tunduk kepada ‘Ali sebagai khalifah.
Dengan adanya arbritase ini kedudukannya telah naik menjadi khalifah yang tidak
resmi.Tidak mengherankan kalau putusan ini ditolak ‘Ali dan tak mau meletakkan
jabatannya, sampai ia mati terbunuh di tahun 661 M.
Sikap
‘Ali yang menerima tipu muslihat ‘Amr al-‘As untuk mengadakan arbritase,
sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya.
Mereka berpendapat bahwa hal serupa itu tidak dapat diputuskan oleh arbritase
manusia.Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang
ada dalam al-Qur’an.La hukma illa lillahi
(tidak ada hokum selain hokum dari Allah) atau la hakama illa Allah (tidak ada pengantara selain dari Allah),
menjadi semboyan mereka.[21]
Mereka
memandang ‘Ali Ibn Abi Talib telah berbuat salah, dan oleh karena itu mereka
meninggalkan barisannya. Golongan mereka inilah dalam sejarah Islam terkenal
dengan nama al-Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahka diri atau seceders.
Karena
memandang ‘Ali bersalah dan berbuat dosa, mereka melawan ‘Ali.‘Ali sekarang
menghadapi dua musuh, yaitu Mu’awiyah dari satu pihak dan Khawarij dari pihak
lainya.Karena selalu mendapat serangan dari pihak kedua ini, ‘Ali terlebih
dahulu memusatkan usahanya untuk menghancurkan kaum Khawarij, tetapi setelah
mereka ini kalah, tentara ‘Ali telah terlalu capai untuk tempur terus
meneruskan pertempuran dengan Mu’awiyah. Mu’awiyah tetap berkuasa di Damaskus
dan setelah ‘Ali Ibn Abi Talib wafat is dengan mudah dapat memperoleh pengakuan
sebagai khalifah umat Islam pada tahun 661 M.
Persoalan-persoalan
yang terjadi dalam lapangan politik sebagai digambarkan di atas inilah yang
akhirnya membawa kepada timbulnya persoala-persoalan teologi.Timbullah
persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang
telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam.
Khawarij
memandang bahwa ‘Ali, Mu’awiyah, Amr Ibn al-‘As, Abu Musa al-Asy’ari dan lain lain
yang menerima arbitrase adalah kafir, karena al-Qur’an mengatakan :
وَمَنْلَمْيَحْكُمْبِمَآاَنْزَلَاللّٰهُفَاُولٍٰٓكَهُمْالكَافِرُوْنَ[22]
Dari ayat inilah mereka mengambil semboyan La hukma illa lillah. Karena keempat
pemuka Islam di atas telah dipandang kafir dalam arti bahwa mereka telah keluar
dari Islam, yaitu murtad atau apostate,
mereka mesti idbunuh. Maka kaum Khawarij mengambil keputusan untuk membunuh
mereka berempat, tetapi menurut sejarah hanya orang yag dibebani membunuh ‘Ali Ibn
Abi Talib yang berhasil dalam tugasnya.19
Lambat laun kaum Khawarij pecah menjadi beberapa sekte.
1.
Al-Muhakkimah
Al-Muhakkimah adalah mereka yang keluar dari barisan Ali ketika berlangsung
peristiwa tahkim dan kemudian berkumpul disuatu tempat yang bernama Harura,
bagian dari negeri Kufah. Pimpinan mereka diantaranya Abdullah bin al-Kawa,
Utab bin al-A’war, Abdullah bin Wahab al-Rasiby. Al-Muhakkimah ini adalah
golongan Khawarij pertama yang terdiri dari pengikut-pengikut Ali. Merekalah
yang berpendapat bahwa Ali, Muawiyah, kedua pengantar Amr Ibnu
al-Ash dan Abu Musa al-Asy’ari serta semua orang yang menyetujui tahkim sebagai
orang-orang yang bersalah dan menjadi kafir. Demikian ini pula orang yang
berbuat zina menurut mereka adalah dosa besar, kafir dan keluar dari Islam.
Begitu pula orang yang membunuh sesama manusia tanpa sebab-sebab yang sah
adalah dosa besar, keluar dari Islam dan menjadi kafir. Demikian pula dengan
dosa-dosa besar lainnya, dapat mengakibatkan dapat keluar dari Islam dan kafir.[[23]]
2.
Al-Azariqah
Al-Azariqah adalah bagian dari golongan Khawarij yang dapat menyusun
barisan baru yang besar dan kuat. Daerah kekuasaannya terletak diperbatasan
Irak dan Iran. Jika nama Muhakkimah dinisabkan pada peristiwa tahkim, maka nama
Azariqah dinisabkan pada tokohnya bernama Nafi Ibn al-Azariqah. Para pengikut
golongan ini, menurut al-baghdadi berjumlah lebih dari dua puluh ribu orang.
Khalifah yang pertama mereka pilih adalah Nafi sendiri, dan kepadanya mereka
memberi gelar Amir al-Mu’minin. Tokoh ini kemudian wafat pada
pertempuran di Irak pada tahun 686 M.
Sekte al-Azariqah ini sikapnya lebih radikal dari al-Muhakkimah. Mereka
mengubah tern kafir menjadi musyrik dan polytheis dan tern yang disebut
terakhir ini lebih tinggi kedudukannya daripada kufur. Keradikalan sub sekte
ini antara lain terlihat pada pendapat-pendapatnya, seperti boleh membunuh anak
kecil yang tidak sealiran dengan mereka, menghukum anak-anak musyrik di dalam
neraka beserta orang tuanya, menghukum orang-orang yang melakukan dosa-dosa
besar dan dosa-dosa kecil secara kontinu dapat menjadi kafir, orang yang
melakukan dosa besar disebut kafirmillah, kelau dari Islam secara total dan
kekal dalam neraka beserta orang-orang kafir.[24]
3.
Al-Najdat
Al-Najdat adalah golongan Khawarij yang ketiga. Nama golongan ini diambil
dari nama pemimpinnya yang bernama Najdah Ibn Amir al-Hanafiah dari Yamamah.
Mereka ini pada mulanya ingin bergabung dengan kaum Azariqah. Namun rencana ini
tidak terwujud, karena terjadi perselisihan paham antara al-Azariqah dan
al-Najdat. Para pengikut Nafi Ibnu al-Azraq yang bernama Abu Fudaik, Rasyid
al-Tawil dan Atitah al-Hanafiah dalam hal tidak menyetujui paham al-Azariqah
yang mengatakan bahwa orang Azraqy yang tak mau berhijrah ke dalam lingkungan
al-Azaqariah adalah musyrik. Mereka juga tidak menyetujui pendapat al-Azaqariah
yang embolehkan membunuh anak istri orang-orang Islam yang tak sepaham dengan
mereka. Selanjutnya mereka memisahkan diri dari Nafi dan pergi ke Yaman.
Disinilah mereka dapat menarik Najdah ke pihak mereka dalam upaya menentang
paham yang dikemukakan Nafi sebagai man disebutkan di atas.
Berlainan dengan al-Azaqariah, Najdah berpendapat bahwa orany yang berdosa
besar dan dapat menjadi kafir serta kekal dalam neraka hanyalah orang Islam
yang tak mau sepaham dengan golongannya. Sedangkan pengikutnya jika
mengaerjakan dosa besar, betul mendapat balasan siksa, tetapi bukan dalam
neraka dan kemudian akan masuk surga.
Seterusnya mereka berpendapat bahwa yang diwajibkan bagi setiap orang Islam
ialah mengetahui Allah dan Rasul-Nya, mengetahui haram membunuh orang Islam dan
percaya kepada selalu ruh apa yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya itu. Orang
yang tidak mengetahui semua ini tidak dapat diampuni dosanya. Dalam hal selain
dari yang disebutkan, orang Islam tidak diwajibkanmengetahuinya. Sedangkan jika
seseorang muslim mengerjakan sesuatu yang haram dengan tidak mengetahui bahwa
itu haram, maka ia dimaafkan.
Dari pendapat tiga aliran Khawarij sebagaimana disebutkan, terlihat bahwa
pendapat nereka itu memperlihatkan keadaan yang kaku, keras dan ekstrim
sehingga pendapat-pendapatnya itu kurang berkembang di masyarakat.[25]
Secara umum ajaran-ajaran pokok Khawarij dapat disimpulkan: Pertama orang
Islam yang melakukan Dosa besar adalah kafir; dan harus di bunuh dan
orang-orang yang terlibat dalam perang jamal (perang antara Aisyah, Talhah, dan
Zubair, dengan Ali bin Abi Thalib) dan para pelaku tahkim termasuk yang
menerima dan mambenarkannya dihukum kafir.[26]
Konsep kafir turut pula mengalamai perubahan. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan
hukum dengan al-Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besar, yaitu murtakib al-kaba’ir atau capital sinners, juga dipandang kafir.
Persoalan orang berbuat
dosa inilah kemudian yang mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan teologi
selanjutnya dalam Islam. Persoalannya ialah: Masihkah ia bisa dipandang orang
mukmin ataukah ia sudah menjadi kafir karena berbuat dosa besar itu?
Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam.
Pertama aliran Khawarij yang mengatakan bahwa orang berdosa besar adalah kafir,
dlam arti keluar dari Islam atau tegasnya murtad dan oleh karena itu ia wajib
dibunuh. Aliran kedua ialah aliran Murji’ah yang menegaskan bahwa orang yang
berbuat dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang
dilakukannya, terserah kepada Allah SWT untuk mengampuni atau tidak
mengampuninya.
Sekte-sekte dan ajaran pokok
Murji’ah
Kemunculan sekte-sekte dalam
kelompok Murji’ah tampaknya dipicu oleh perbedaan penadapat di kalangan para
pendukung Murji’ah sendiri. Dalam hal ini, terdapat problem yang cukup mendasar
ketika para pengamat mengklasifikasikan.
Pada umunmnya kaum Murji’ah di
golongkan menjadi dua golongan besar, yaitu Golongan Moderat dan golongan
Ekstrim.
a)
Golongan Moderat
Tokoh-tokoh kelompok moderat
adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah (Imam Hanafi),
Abu Yusuf dan beberapa ahli hadits. Golongan moderat berpendapat bahwa orang
yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka. Tetapi akan
dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada
kemungkinan bahwa tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan
masuk neraka.
Golongan Murji’ah yang moderat
ini termasuk Al-Hasan Ibn Muhammad Ibn ’Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu
Yusuf dan beberapa ahli Hadits. Menurut golongan ini, bahwa orang islam yang
berdosa besar masih tetap mukmin. Dalam hubungan ini Abu Hanifah memberikan
definisi iman sebagai berikut: iman adalah pengetahuan dan pengakuan adanya
Tuhan, Rasul-rasul-Nya dan tentang segala yang datang dari Tuhan dalam
keseluruhan tidak dalam perincian iman tidak mempunyai sifat bertambah dan
berkurang, tidak ada perbedaan iman.
Dengan gambaran serupa itu, maka
iman semua orang islam di anggap sama, tidak ada perbedaan antara iman orang
islam yang berdosa besar dan iman orang islam yang patuh menjalankan
perintah-perinyah Allah. Jalan pikiran yang dikemukakan oleh Abu Hanifah itu
dapat membawa kesimpulan bahwa perbuatan kurang penting dibandingkan dengan
iman.[27]
b)
Golongan Ekstrim
Adapun yang termasuk ke dalam
kelompok ekstrim adalah Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah
dan Al-Hasaniyah, Al-Ghailaniyah, As-Saubaniyah, Al-Marisiyah, dan
Al-Karamiyah. Pandangan tiap kelompok ini dapat dijelaskan sebagi berikut:
v Al-Jahmiyah
Adapun golongan Murji’ah ekstrim
adalah Jahm bin Safwan dan pengikutnya disebut al-Jahmiah. Golongan ini
berpendapat bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan, kemudian menyatakan
kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena kafir dan iman
tempatnya bukan dalam bagian tubuh manusia tetapi dalam hati sanubari. Lebih
lanjut mereka mengatakan bahwa orang yang telah menyatakan iman, meskipun
menyembah berhala, melaksanakan ajaran-ajaran agama Yahudi degan menyembah
berhala atau Kristen dengan menyembah salib, menyatakan percaya pada trinitas,
kemudian mati, tidaklah menjadi kafir, melainkan tetap mukmin dalam pandangan
Allah. Dan orang yang demikian bagi Allah merupakan mukmin yang sempurna
imannya.[28]
v Ash-Shalihiyah
Bagi kelompok pengikut Abu
Al-Hasan Al-Salihi iman adalah megetahui Tuhan dan Kufur adalah tidak tahu pada
Tuhan. Dalam pengertian bahwa mereka sembahyang tidaklah ibadah kepada Allah,
karena yang disebut ibadat adalah iman kepadanya, dalam arti mengetahui Tuhan.
Begitu pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah melainkan sekedar
menggambarkan kepatuhan.
v Al-Yunusiyah
Kaum Yunusiyah yaitu pengikut-
pengikut Yunus ibnu ’Aun an Numairi berpendapat bahwa iman itu adalah mengenai
Allah, dan menundukkan diri padanya dan mencintainya sepenuh hati. Apabila
sifat-sifat tersebut sudah terkumpul pada diri seseorang, maka dia adalah
mukmin. Adapun sifat-sifat lainnya, seperti taat misalnya, bukanlah termasuk
iman, dan orang yang meninggalkan bukanlah iman, dan orang yang meninggalkan
ketaatan tidak akan disiksa karenanya, asalkan saja imannya itu benar-benar
murni dan keyakinannya itu betul-betul benar.[29]
v Al-Ubaidiyah
Al-Ubaidiyah di pelopori oleh
Ubaid Al-Muktaib. Pada dasarnya pendapat mereka sama dengan sekte Al-Yunusiyah.
Melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah
merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan- perbuatan
jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal
ini, Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat banyak atau
sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik atau politheist.
v Al-Hasaniyah
Kelompok ini mengatakan bahwa,
”saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang
diharamkan itu adalah kambing ini,” maka orang tersebut tetap mukmin bukan
kafir. Begitu pula orang yang mengatakan, ”saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji
ke Ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah Ka’bah di India atau di tempat lain”,
orang yang demikian juga tetap mukmin.
v Al-Ghailaniyah
Al-Ghailaniyah di pelopori oleh
Ghailan Ad-Dimasyqi. Menurut mereka, iman adalah ma’rifat kepada Allah SWT
melalui nalar dan menunjukkan sikap mahabah dan tunduk kepada-Nya.
v As-Saubaniyah
As-Saubaniyah yang dipimpin oleh Abu Sauban mempunyai prinsip ajaran yang
sama dengan paham Al-Ghailaniyah. Hanya mereka menambahkan bahwa yang termasuk
iman adalah mengetahui dan mengakui sesuatu yang menurut akal wajib dikerjakan.
Berarti, kelompok ini mengakui adanya kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui
akal sebelum datangnya syari’at.[30]
v Al-Marisiyah
Al-Marisiyah di pelopori oleh
Bisyar Al-Marisi. Menurut paham ini, iman disamping meyakini dalam hati bahwa
tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW itu rasul-Nya, juga harus di
ucapkan secara lisan. Jika tidak di yakini dalam hati dan diucapkan dengan
lisan, maka bukan iman namanya. Adapun kufur merupakan kebalikan dari iman.
v Al-Karamiyah
Al-Karamiyah yang perintisnya
adalah Muhammad bin Karram mempunyai pendapat bahwa iman adalah pengakuan
secara lisan dan kufur adalah pengingkaran secara lisan. Mukmin dan kafirnya
sesseorang dapat di ketahui secara lisan. Sebagai aliran yang berdiri sendiri,
kelompok Murji’ah ekstrem sudah tidak didapati lagi sekarang. Walaupun
demikian, ajaran-ajarannya yang ekstrem itu masih didapati pada sebagian umat
Islam. Adapun ajaran-ajaran dari kelompok Murji’ah moderat, terutama mengenai
pelaku dosa-dosa besar serta pengertian iman dan kufur, menjadi ajaran yang
umum disepakati oleh umat Islam.[31]
Kaum Mu’tazilah sebagai aliran ketiga tidak menerima pendapat-pendapat di
atas. Bagi mereka orang yang bedosa besar bukan kafir tetapi pula bukan mukmin.
Orang yang serupa ini kata mereka mengambil posisi di antara kedua posisi
mukmin dan kafir yang dalam bahasa Arabnya terkenal dengan istilah almanzilah bain al-manzilitain (posisi
di antara dua posisi).
Sekte-sekte dan ajaran pokok
Mutazilah :
Aliran Mutazilah terdiri atas
lima prinsip utama yang diurutkan menurut kedudukan dan kepentingannya, yaitu:
1)
Keesaan (al-tauhid)
Tauhid adalah dasar Islam pertama
dan utama. Sebenarnya tauhid ini bukan milik khusus golongan Mutazilah, tetapi
karena mereka menafsirkannya sedemikian rupa dan dan mempertahankannya dengan
sungguh-sungguh maka mereka terkenal sebagai ahli tauhid.[32]
2)
Keadilan (al-‘adlu)
Dasar keadilan adalah meletakkan
tanggung jawab manusia atas segala perbuatannya. Golongan Mutazilah menafsirkan
keadilan tersebut sebagai berikut: “ Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak
mencipta perbuatan manusia, manusia bisa mengerjakan perintah-perintah-Nya dan
meninggalkan larangan-larangan-Nya, karena qodrat yang dijadikan Tuhan kepada
diri mereka. Ia tidak memerintah kecuali apa yang dikehendaki-Nya dan tidak
melarang apa yang dilarang-Nya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang
diperintahkan-Nya dan tidak tahu menahu dari keburukan yang dilarang-Nya”.
Dengan dasar keadilan ini mereka
menolak pendapat golongan Jibriyyah yang mengatakan bahwa manusia dalam segala
perbuatannya tidak mempunyai kebebasan, bahkan menganggap suatu kezaliman
menjatuhkan siksa kepadanya.[33]
3) Janji dan ancaman (al-Wa’du wai Wa’idu)
Prinsip ini adalah kelanjutan
dari prinsip keadilan yang harus ada pada Tuhan. Golongan Mutazilah yakni bahwa
janji Tuhan akan memberikan pahala dan ancaman-Nya akan menjatuhkan siksa atau
neraka pasti dilaksanakan, karena Tuhan sudah menjanjikan demikian. Siapa yang
berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan dan siapa yang berbuat jahat akan
dibalas dengan kejahatan pula.
4)
Tempat diantara dua tempat (al manzilatu bainal manzilataini)
Tempat ini sangat penting
karenanya Wasil bin ‘Ata memisahkan diri dari Hasan Basri. Wasil memutuskan
bahwa orang yang berbuat dosa besar selain syirik, tidak mu’min tidak pula
kafir, tetapi fasik. Jadi kefasikan adalah suatu hal yang berdiri sendiri tanpa
iman dan kafir. Tingkatan orang fasik di bawah orang mu’min dan di atas orang
kafir.[34]
5)
Menyuruh kebaikan dan mmelarang keburukan ( amar ma’ruf nahi
munkar)
Prinsip ini lebih banyak
berhubungan dengan taklifi dan lapangan fiqh daripada lapangan kepercayaan atau
tauhid. Banyak ayat-ayat al-Qur`an yang memuat prinsip ini, antara lai surat
Ali Imron ayat 104 dan Lukman ayat 117. Prinsip ini harus dijalankan
oleh setiap orang Islam untuk penyiaaran agama dan memberi petunjuk kepada
orang-orang yang sesat.[35]
Dalam pada itu timbul pula dalam Islam dua
aliran dalam teologi yang terkenal dengan nama al-qadariah dan al-jabariah. Menurut qadariah manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan
perbuatannya, dalam istilah Inggrisnya free
will dan free act. Jabariah,
sebaliknya, berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam
kehendak dan perbuatanya. Manusia dalam segala tingkah launya, menurut paham
jabariah, bertindak dengan paksa Tuhan.Segala gerak-gerik manusia ditentukan
oleh Tuhan.Paham inilah yang disebut paham predestination
atau fatalism, dalam istilah Inggris.[36]
Selanjutnya, kaum
Mu’tazilah dengan diterjemahkannya buku-buku falsafah dan ilmu pengetahuan
Yunani ke dalam bahasa Arab, terpengaruh oleh pemakaian rasio atau akal yang
mempunyai kedudukan tinggi dalam kebudayaan Yunani klasik itu, pemakaian dan
kepercayaan pada rasio ini dibawa oleh kaum Mu’tazilah ke dalam lapangan
teologi Islam dan dengan demikian teologi mereka mengambil corak teologi
liberal, dalam arti bahwa sungguhpun kaum Mu’tazilah banyak mempergunakan
rasio, mereka tidak meninggalkan wahyu. Dalam pemikiran-pemikaran mereka
selamanya terikat kepada wahyu yang ada dalam Islam.Dan sudah barang tentu
bahwa dalam soal qadariyah dan jabariah di atas, sebagai golongan yang percaya
pada kekuatan dan kemerdekaan akal untuk berpikir, kaum Mu’tazilah mengambil
paham qadariyah.
Teologi mereka yang
bersifat rasional dan liberal itu begitu menarik bagi kaum intelegensia yang
terdapat dlaam lingkungan pemerintahan Kerajaan Islam Abbasiah di pemulaan abad
ke-9 Masehi sehingga Khalifah al’Ma’mun (813-833 M), putra dari Khalifah Harun
al-Rasyid (766-809 M) pada tahu 827 M menjadikan teologi Mu’tazilah sebagai
mahzab yang resmi dari pemerintah, kaum Mu’tazilah mulai bersikap menyiarkan
ajaran-ajaran mereka secara paksa, terutama paham mereka bahwa al-Qur’an
bersifat makhluq dalam arti
diciptakan dan bukan bersifat qadim
dalam arti kekal[37] dan tidak diciptakan.[38]
Aliran Mu’tazilah yang
bercorak rasional ini mendapat tantangan keras dari golongan tradisional Islam,
terutama golongan Hambali, yaitu pengikut-pengikut mahzab Ibn Hambal.Politik
menyiarkan aliran Mu’tazilah secara kekerasan berkurang setelah al-Mamun
meninggal pada tahun 833, dan akhirnya aliran Mu’tazilah sebagai mahzab resmi
dari Negara dibatalkan oleh Khalifah al-Mutawwakil pada tahun 856 M. Dengan
demikian kaum Mu’tazilah kembali kepada kedudukan mereka semula, tetapi kini
mereka telah mempunyai lawan yang bukan sedikit di kalangan umat Islam.
Perlawanan ini
kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang disusun oleh Abu
al-Hasan al-Asy’ari (953 M). Al-Asy’ari sendiri pada mulanya adalah seorang Mu’tazilah, tetapi kemudian, menurut
riwayatnya setelah melihat dalam mimpi bahwa ajaran-ajaran Mu’tazilah dicap
Nabi Muhamad sebagai ajaran-ajaran yang sesat, al-Asy’ari meninggalkan
ajaran-ajaran itu dan membentuk ajaran-ajaran baru yang kemudian terkenal
dengan nama teologi al-Asy’ari atau al-Asya’irah.
Di samping alira Asya’irah timbul
pula Samarkand suatu aliran yang bermaksud juga menentang aliran Mu’tazilah dan
didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidi (w. 944 M). Aliran ini kemudian
terkenal dengan nama teologi al-Maturidiah, yang sebagaimana aka terlihat nanti[39]
tidaklah bersifat setradisisonal aliran Asy’ariah, akan tetapi tidak pula
bersifat seliberal Mu’tazilah. Sebenarnya aliran ini terbagi dalam dua cabang
Samarkand yang bersifat agak liberal dan cabang Bukhara yang bersifat
tradisisonal.
Selain dari
Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi ada lagi seorang teolog dari
Mesir yang juga bermaksud untuk menentang ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah. Teolog
itu bernama al-Tahawi (w. 933 M) dan sebagaimana hal denga al-Maturidi ia juga
pengikut dari Abu Hanifah, Imam dari Mahzab Hanafi dalam lapangan hukum Islam.
Tetapi ajaran-ajaran al-Tahawi tidak menjelma sebagai aliran teologi dalam
Islam.
Dengan
demikian aliran-aliran teologi penting yang timbu dalam Islam ialah aliran
Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah.Aliran-aliran Khawarij,
Murjiah dan Mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah. Yang
masih ada sampai sekarang ialah aliran-aliran asy’ariah dan Maturidiah, dan
keduanya disebut Ahl Sunnah wa al-Jama’ah.
Aliran Maturidiah bayak dianut oleh umat Islam yang bermahzab Hanafi, sedangkan
aliran Asy’ariah pada umumnya dipakai umat Islam Sunni lainnya. Dengan masuknya
kembali paham rasionalisme ke dunia Islam, yang kalau dahulu masuknya itu
melalu kebudayaan Yunani klasik akan tetapi sekarang melalui kebudayaan Barat
Modern, maka ajaran-ajaran Mu’tazilah mulai timbul kembali, terutama sekali di
kalangan kaum intelegensia Islam yang mendapat pendidikan Barat. Kata neo-Mu’tazilah mulai dipakai dalam tulisan-tulisan mengenai Islam.[40]
D. Pokok-pokok Masalah dalam
Teologi Islam
Harun Nasution berasumsi teologi kemunculannya
di picu oleh persoalan-persoalan politik.Persoalan-persoalan politik dimaksud
yaitu tragedi pembunuhan ‘Utsman bin Affan’ dan
berujung pada kudeta yang dilakukan oleh Mu’awiyah terhadap khalifah sah
saat itu yaitu Ali bin Abi Thalib yang berakhir dengan peristiwa tahkim
(arbitrase) yang sangat merugikan pihak Ali bin Abi Thalib.
Dikarenakan polemik tersebut sebagian pasukan
Ali bin Abi Thalib menarik diri dari bawah bendera Ali bin Abi Thalib, mereka
menganggap Saidina Ali telah berbuat salah karena mau berdamai (tahkim)
dengan pihak Mua’awiyah, apalagi mereka sudah hampir menang dalam ”perang
saudara” tersebut. Dalam sejarah mereka
dikenal dengan khawarij yaitu orang-orang yang memisahkan diri.[41]
1.
Timbulnya Persoalan
teologi Khawarij
Secara etimologis kata
Khawarij berasal dari bahasa Arab yaitu kharaja yang berarti
keluar, muncul, timbul atau memberontak.Ini yang mendasari Syahrastani untuk
menyebut Khawarij terhadap orang yang memberontak imam yang sah. Berdasarkan
pengertian etimologi ini pula Khawarij berarti setiap muslim yang ingin keluar
dari kesatuan umat Islam.[42]
Sedangkan
menurut ta’rif ilmu teologi adalah yang dimaksud Khawarij yaitu suatu kelompok
atau aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena
ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim),
dalam perang shiffin pada tahun 376 H / 648 M dengan kelompok bughat (pemberontak)
Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khalifah.[43]
Ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak ekstrimitas dalam
memutuskan persoalan-persoalan kalam. Hal ini di samping didukung oleh watak
kerasnya akibat kondisi geografis gurun pasir, juga dibangun atas dasar
pemahaman tekstual terhadap nash-nash Alquran dan Hadis. Tak heran kalau aliran
ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang status dosa besar, mereka memandang
bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim, yakni Ali, Muawiyah,
Amr bin Al-Ash’, Abu Musa Al-Asy’ari adalah kafir.[44]
2.
Timbulnya Persoalan
Teologi Syiah
Mengenai kemunculan
Syi’ah dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli. Menurut
Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul pada masa akhir pemerintahan Usman bin Affan
kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Adapun
menurut Watt, Syi’ah baru benar-benar muncul ketika berlangsung peperangan
antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan Perang Siffin. Dalam
peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang
ditawarkan Muawiyah, pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu
kelompok mendukung sikap Ali-kelak disebut Syi’ah, dan kelompok lain menolak
sikap Ali, kelak disebut Khawarij. [45]
3.
Timbulnya Persoalan
Teologi Mu’tazilah
Istilah Mu’tazilah
menunjuk ada dua golongan,golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul
sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap
lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan
lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah
karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini
bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum
Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.
Golongan kedua,
(disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang
berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa
tahkim.Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan
Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa
besar.[46]
4.
Timbulnya Persoalan
Teologi Murji’ah
Yang di maksud kaum
Murji’ah di sini ialah suatu golongan atau kaum orang-orang yang tidak mau ikut
terlibat dalam mengkafirkan tehadap sesama umat Islam seperti dilakukan kaum
Khawarij yang mengatakan bahwa semua yang terlibat dalam tahkim adalah kafir,
dan mengatakan bahwa orang Islam yang berdosa besar juga kafir. Bagi mereka,
soal kafir atau tidaknya orang-orang yang terlibat dalam tahkim dan orang Islam
yang berdosa besar, kita tidak tahu dan tidak dapat menentukan sekarang.Mereka
mempunyai pandangan lebih baik menangguhkan penyelesain persoalan tersebut dan
menyerahkanya kepada keputusan Allah di hari kemudian yakni pada hari
perhitungan sesudah hari Kiamat nanti.Karena mereka berpendirian menangguhkan
atau menunda persoalan tersebut, mereka kemudian disebut kaum Murji’ah.[47]
Golongan
Murji’ah ini mula-mula timbul di Damaskus, pada akhir abad pertama
hijrah.Dinamakan “Murji’ah” karena golongan ini menunda atau mengembalikan
tentang hukum orang mukmin yang berdosa besar dan belum bertobat sampai
matinya, orang itu belum dapat dihukumi sekarang.Ketentuan persoalannya ditunda
atau dikembalikan terserah kepada Allah di hari akhir nanti.
Lahirnya
aliran Murji’ah disebabkan oleh kemelut politik setelah meninggalnya Khalifah
Utsman bin Affan, yang di ikuti oleh kerusuhan dan pertumpahan darah.
Kemelut
polotik itu berlanjut dengan terbunuhnya Khalifah Ali yang diikuti pula
kerusuhan dan pertumpahan darah.Di saat-saat demikian, lahirlah aliran Syi’ah
dan aliran Khawarij. Syi’ah menentang Bani Umayah karena membela Ali dan Bani
Umayyah dianggap sebagai penghianat, mengambil alih kekuasaan dengan cara
penipuan.[48]
5.
Timbulnya Persoalan
Teologi Jabariyah
Kata jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti
memaksa, didalam al-munjid dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata
jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu..Selanjutnya,
kata jabara bentuk pertama setelah ditarik menjadi jabariyah memiliki arti
suatu kelompok atau aliran (isme).Dalam bahasa inggris, jabariyah disebut
fatalism atau predestination yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan
manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha’ dan qadhar tuhan.[49]
Berkaitan dengan kemunculan aliran jabariyah, ada yang
mengatakan bahwa kemunculannya diibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu
pengaruh agama yahudi bermazhab Qurra dan agama kristen bermazhab Yacobit.[50]
6.
Timbulnya Persoalan
Teologi Sunni
Sunni atau Ahlussunnah terbagi kepada dua
pembagian,satu pembagian yang umum yaitu kelompok teologi yang kontra
dengan syiah .Dalam pengertian ini adalah Mu’tazilah termasuk juga Asy’ariah
masuk dalam golongan Sunni.
Sedangkan yang di katakana Sunni dalam pengertian
khusus adalah sakte yang berada di bawah bendera Asy’ariah yang ber mufarakah
dengan Mu’tazilah.Aliran khusus ini yang sedikit kita kaji dalam pembahasan
singkat ini .[51]
Penamaan
Ahlussunnah atau Sunni mulai serin digunakan setelah timbulnya aliran Asy’ariah
dan Maturudiah,dua ajaran yang menantang ajaran-ajaran Mu’tazilah.Dalam hal ini
Harun nasution menukil keterangan Tasy Kubra Zadah-menjelaskan bahwa aliran
Sunni muncul atas keberanian dan usaha Abu Al-hasan Al-As’ary sekitar tahun
300H .[52]
Al-Asy’ari keluar dari Mu’tazilah setelah berumur 40
tahun mengumumkannya pada jama’ah masjid Basarah dan meyatakan akan membeberkan
keburukan-keburukan Mu’tazilah.Menurut Ibnu ‘Asakir,yang melatar belakangi
Al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah adalah konon Al-Asy’ari bermimpi bertemu
Rasulullah SAW,sebanyak tiga kali,yaitu pada malam ke-10 ,ke-20 dan ke-30 dalam
bulan Ramadhan .Dalam tiga kali mimpinya ,Rasulullah memperingatkan agar segera
meninggalkan Mu’tazilah dan segera membela faham yang di riwayatkan dari
beliau.[53]
Persoalan teologi islam lahir dari ekses pertikaian
politik antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib, walaupun benih-benih perbedaan
pandangan sudah pernah lahir sejak nabi Muhammad SAW dan para sahabat, namun
perbedaan tersebut baru mengkristal setelah peristiwa tahkim.
Berbagai macam sakte teologi lahir dikalangan umat
islam, dengen berbagai karakter dan pemikiran masing-masing.
Perdebatan panas mengenai iman dan kufur, perbuatan
Tuhan, sifat-sifat Tuhan, serta kehendak mutlak Tuhan dan keadilan melahirkan
berbagai persoalan teologi dengan aliran yang bermacam-macamragam.
E. Menyikapi Perbedaan Paham
Teologi Islam
Lebih
arif jika umat Islam menyikapi perbedaan itu sebagai rahmat Allah SWT. Mari,
kita biarkan perbedaan-perbedaan aliran teologi dalam Islam laksana warna-warni
bunga yang mekar di tengah taman. Bukankah sebuah taman jauh lebih indah jika
ditumbuhi aneka bunga dibandingkan taman yang hanya memiliki satu macam bunga? Tidak ada kebenaran, kecuali Allah SWT.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa:
1.
Teologi dari segi etimologi berasal dari bahasa yunani yaitu theologia. Yang terdiri dari kata theos yang
berarti tuhan atau dewa, dan logos yang artinya ilmu. Sehingga teologi adalah pengetahuan ketuhanan.
Dalam arti umum teologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang kenyataan-kenyataan dan gejala-gejala agama yang
juga membicarakan tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, baik jalan penyelidikan atau pemikiran murni, atau dengan jalan wahyu.
2.
Pada dasarnya teologi islam adalah sama dengan ilmu tauhid, akidah dan ushuluddin. Karena mereka masih termasuk ilmu kalam, yaitu ilmu yang membahas tentang
segala firman-firman Allah, sifat-sifat Allah, ketetapan Allah, dsb.
3.
Perbedaan teologi islam dengan ilmu tauhid, akidah dan ushuluddin adalah hanya terdapat pada penyempitan pembahasannya seperti
ilmu tauhid membahas tentang keesaan Allah, akidah membahas tentang kepercayaan atau keimanan
seseorang terhadap Allah, dan ushuluddin membahas tentang asal-usul agama islam serta pokok-pokok
ajaran dasar ilsam. Akan tetapi mereka
masih membahas tentang satu hal, yaitu tentang Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Nasution, Harun. 2002. Teologi Islam. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia
Ø
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia
Ø
Nasution,
Harun. 1986. Teologi islam:Aliran-aliran
sejarah perbandingan.
Jakarta: UIN Press.
Ø Razak, Abdur ;Anwar, Rosihan. 2006. Ilmu kalam. Bandung: Pustaka Setia
Ø M. Hasbi Ash Shiddieqy. 1992.Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam.
Ø Kartanegara, Mulyadi dkk.
2010. Pengantar Studi Islam. Jakarta: UIN Press.
Ø Hanafi A. Theology
Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Cetakan ke-5, 1983
Ø Asumsi, M. Yusran, Ilmu
Tauhid, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996
Ø Imarah, Muhammad, Tayyarat
Al-Fikr Al-Islamy, Surabaya: Logos Wacana Ilmu, 1991
TABEL
v Iman dan Kufur
Aliran Kalam
|
Unsur Iman 1
|
Unsur Iman 2
|
Unsur Iman 3
|
Orang yang Berdosa Besar
|
Khawarij
|
Tashdiq bi al-qalb
|
Iqrar bi al-lisan
|
‘amal bi al-arkan
|
Menjadi Kafir
|
Murji’ah
|
Tashdiq bi al-qalb
|
X
|
x
|
Tetap Mu’min
|
Mu’tazilah
|
Tashdiq bi al-qalb
|
Iqrar bi al-lisan
|
‘amal bi al-arkan
|
Di antara kafir dan mu’min
|
Jabariyah
|
Tashdiq bi al-qalb
|
X
|
X
|
Tetap Mu’min
|
Asy’ariyyah
|
Tashdiq bi al-qalb
|
X
|
X
|
Tetap Mu’min
|
Maturidiyah Samarqand
|
Tashdiq bi al-qalb
|
Iqrar bi al-lisan
|
‘amal bi al-arkan
|
Tetap Mu’min
|
Maturidiyah Bukhara
|
Tashdiq bi al-qalb
|
Iqrar bi al-lisan
|
X
|
Tetap Mu’min
|
v Kapasitas Akal dan Fungsi Wahyu
Aliran Kalam
|
Mengetahui Tuhan
|
Keajiban Mengetahui Tuhan
|
Mengetahui Baik dan Buruk
|
Kewajiban Mengerjakan baik & Meninggakan Buruk
|
Corak Kalam
|
Mu’tazilah
|
Akal
|
Akal
|
Akal
|
Akal
|
Rasional
|
Asy’ariyyah
|
Akal
|
Wahyu
|
Wahyu
|
Wahyu
|
Tradisional
|
Maturidiyah Samarqand
|
Akal
|
Akal
|
Akal
|
Wahyu
|
Rasional
|
Maturidiyah Bukhara
|
Akal
|
Wahyu
|
Akal
|
Wahyu
|
Tradisional
|
v Perbuatan Manusia
Aliran Kalam
|
Kehendak
|
Daya
|
Perbuatan
|
Qadariyah
|
Manusia
|
Manusia
|
Manusia
|
Jabariyah
|
Tuhan
|
Tuhan
|
Tuhan
|
Mu’tazilah
|
Manusia
|
Manusia
|
Manusia
|
Asy’ariyyah
|
Tuhan
|
Tuhan (efektif)
Manusia (tidak
efektif)
|
Tuhan (sebenarnya)
Manusia (kiasan)
|
Maturidiyah Samarqand
|
Manusia
|
Manusia
|
Manusia
|
Maturidiyah Bukhara
|
Tuhan
|
Tuhan (efektif)
Manusia (?)
|
Tuhan (sebenarnya)
Manusia (kiasan)
|
v Kekuasaan Tuhan
Aliran
Kalam
|
Kekuasaan Tuhan
|
Mu’tazilah
|
Kekuasaan Tuhan tidak mutlak lagi
|
Asy’ariyyah
|
Kekuasaan Tuhan bersifat mutlak
|
Maturidiyah Samarqand
|
Kekuasaan Tuhan tidak mutlak lagi
|
Maturidiyah Bukhara
|
Kekuasaan Tuhan bersifat mutlak
|
v Keadilan Tuhan
Aliran Kalam
|
Keadilan Tuhan
|
Mu’tazilah
|
Tuhan berkewajiban memberi
hak-hak bagi manusia sesuai dengan kualitas
perbuatannya, perbuatan baik dengan pahala, perbuatan jahat dengan siksa
|
Asy’ariyyah
|
Memposisikan Tuhan
Yang Berkuasa Mutlak terhadapa
makhluk-Nya, Tuhan boleh berbuat sekehendak-Nya kepada seluruh makhluk-Nya
|
Maturidiyah Samarqand
|
Tuhan berkewajiban
memberi hak-hak bagi manusia sesuai dengan kualitas
perbuatannya, perbuatan baik dengan pahala, perbuatan jahat dengan siksa
|
Maturidiyah Bukhara
|
Memposisikan Tuhan
Yang Berkuasa Mutlak terhadapa
makhluk-Nya, Tuhan boleh berbuat sekehendak-Nya kepada seluruh makhluk-Nya
|
v Perbuatan Tuhan
Aliran Kalam
|
Kewajiban Tuhan Pada Manusia
|
Berbuat Baik dan Terbaik
|
Beban Diluar Batas Kemampuan Manusia
|
Mengirim Rasul
|
Janji dan Ancaman
|
Mu’tazilah
|
Tuhan wajib berbuat yang baik
dan terbaik, menepati janji, mengirim rasul,
mem
Beri rezeki bagi manusia
|
Tuhan harus selalu berbuat yang baik dan terbaik bagi manusia
|
Tidak mungkin
|
Tidak penting
|
Wajib bagi Tuhan
|
Asy’ariyyah
|
Tidak ada kewajiban
bagi Tuhan
|
Tidak harus
|
Bisa saja
|
Sangat penting
|
Tidak wajib bagi
Tuhan
|
Maturidiyah Samarqand
|
Tuhan wajib
menepati janji, mengirim rasul, memberi
rezeki bagi manusia
|
Tidak harus
|
Tidak mungkin
|
Tidak begitu
penting
|
Wajib bagi Tuhan
|
Maturidiyah Bukhara
|
Tidak ada kewajiban
bagi Tuhan
|
Tidak harus
|
Bisa saja
|
Penting
|
Tidak wajib bagi
Tuhan
|
v Sifat Tuhan
Aliran
Kalam
|
Pandangan Sifat Tuhan
|
Mu’tazilah
|
Tuhan tidak mempunyai sifat
|
Asy’ariyyah
|
Tuhan mesti mempunyai sifat
|
Maturidiyah Samarqand &
Bukhara
|
Tuhan mesti mempunyai sifat
|
v Firman Tuhan Al-Qur’an
Aliran Kalam
|
Pandangan Tentang Al-Qur’an
|
Mu’tazilah
|
Al-Qur’an
tidak bersifat kekal tetapi baharu
|
Asy’ariyyah
|
Al-Qur’an
bersifat kekal
|
Maturidiyah Samarqand &
Bukhara
|
Al-Qur’an
bersifat kekal
|
v Khilafah
Aliran Kalam
|
Doktrin Khilafah
|
Khawarij
|
Yang berhak menjadi khalifah adalah semua umat islam, dan harus dipilih secara
demokratis
|
Syi’ah
|
Yang berhak menjadi
khalifah hanya Ali bin Abi Thalib dan para keturunannya, dan
diangkat secara otomatis melalui garis keturunannya
|
Aswaja
|
Yang berhak menjadi
khalifah hanya keluarga dan keturunan kaum Quraisy, dan dipilih
secara musyawarah melalui perwakilan
|
LAMPIRAN
Gambar 2. Muhammad Abduh
Gambar 1. Sultan Mehmed II
Gambar 3. Harun Nasution Gambar 4. Washil
bin Atha’
Gambar 5. Abul Hasan Al-Asy’ari
[1] Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu kalan, (Pustaka Setia: Bandung,
2006), Cet II, hlm. 14
[2]Muhammad Abduh, Risalah tauhid, terj, Firdaus A.N,
(Bulan Bintang: Jakarta, 1979) , hlm. 36
[3]http://fzil.wordpress.com/2011/04/28/ilmu-kalam-ilmu-akidah-ilmu-tauhid/, diakses 10/03/2016, 21.00 WIB
[4]Lihat Drs. h. Salihun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, 1996, hal. 6-7
[5]Lihat M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Tauhid/Kalam, 1992, hal. 42
[6]Lihat M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Tauhid/Kalam, 1992, hal. 42
[7]Lihat H. M. Daud Zamzami, dkk, pemikiran
Ulama Dayah Aceh, 2007, hal6.
[8]http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu%20Ushuludin.htm
[9]Lihat Drs. H. Salihun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, 1996, hal. 6
[11]Ibid
[13]Ibid
[22]Al-ma’idah
(5) – 44. Siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang telah diturunkan
Allah, adalah kafir.
[27]Hasjmy, Syiah
dan Alhusnah, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hlm. 42
[28]Muhammad
Imarah, Tayyarat Al-Fikr Al-Islamy, (Surabaya: Logos Wacana Ilmu,
1991), hlm. 33-34
[32]A.
Hanafi, Thelogy Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet.ke-5,
hlm. 48
[36]
Lebih lanjut mengenai hal ini dapat dibaca dalam bab IV.
[37]Qodim sebenarnya berarti tidak bermula dan lawannya baqi,
tidak berkesudahan.Oleh karena itu
dala bahasa Inggris qadim telah mulai
diterjemahkan menjadi eteral in the past,
dan baqi, eternal in the future.
[38]Hal
ini dibicarakan lebih lanjut, infra
hlm. 46 dst., 58 dst., dan 137 dst.
[39]Uraian
lebih lanjut lihat hal. 75 dst.
[40]Umpamanya kaum Modernis Islam India disebut neo-Mu’tazilah oleh
pengarang-pengarang Barat. Robert Caspar menulis tentang “Le Renouveau du
Mo’tazilisme” dalam Institut Dominicain
d’Etudes Orientales du Caire Melanges, IV (1957).
[41]Harun
Nasution, Teologi islam:Aliran-aliran sejarah perbandingan ,
(Ui-Press,Jakarta,1986), h.12
[42]Rosihon
Anwar, Abdul Rozak , Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2006), h.49
[43]Harun
Nasution, Teologi islam:Aliran-aliran sejarah perbandingan ,
(Ui-Press,Jakarta,1986), h.11
[44]Amir
An-Najar, Al-kahwarij:Aqidatan wa Fikratan wafalsafatan ,Terj.Afif Muhammad ,
dkk, Lentera.Cet.I, Bandung, 1993,h.5.
[45]W.Montgomery
Watt,Terj.Umar Basalim, h.10
[46]Rosihon Anwar, Abdul
Rozak , Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2006), h.98-99
[47]Hadariansyah
Ab, Pemikir-pemikir teologi dalam Sejarah Pemikir Islam (Banjarmasin:
Antasari Press, 2008), h.58
[48]Ahmad
Hanafi, Teologi Islam/Ilmu Kalam(Jakarta: PT Bulan Bintang, 1974),h.10-11
[49]Aziz
dahlan, sejarah pemikiran perkembangan dalam islam, (beunneubi cipta. Jakarta,1987),
h. 27-29.
[50]Sahiludin
a. Nasir, pengantar ilmu kalam, (rajawali, 1991, Jakarta) ,h.133
[52]Harun
Nasution, Teologi islam:Aliran-aliran sejarah perbandingan ,
(Ui-Press,Jakarta,1986), h.28
[53]Rosihon Anwar, Abdul
Rozak , Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2006), h.146
Tidak ada komentar:
Posting Komentar