ISLAM DAN ORGANISASI SOSIAL KEAGAMAAN
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah
Studi Islam II
Oleh :
KELOMPOK 11
SITI MARYAM (11151020000069)
DHIMAZ ARYO P. (11151020000085)
AYU GUSTIDA FAJRIN (11151020000080)
NURJANNATUN THAJRI (11151020000103)
Dosen Pembimbing :
Siti Nadroh , M.Ag
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2016
KATA
PENGANTAR
Puji
dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Islam dan Organisasi –organisai
Sosial Keagamaan”. Dalam makalah ini kami membahas sedikit tentang sejarah
lahirnya organisasi-organisasi islam tersebut dan bagaimana pengaruh ajaran
islam bagi pembangunan NKRI. Selain itu kami juga menyertakan lahirnya partai
politik islam sejalan dengan strategi pemerintahan.
Kami
sudah berusaha sebaik mungkin dalam mengerjakan makalah ini, namun mustahil
apabila makalah yang kami buat tidak ada kekurangan maupun kesalahan, maka dari
itu kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat kami butuhkan guna perbaikan karya selanjutnya di kesempatan
mendatang.
Terima
kasih
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... 2
DAFTAR ISI........................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar belakang............................................................................................... 4
B.
Rumusan masalah
.......................................................................................... 4
C.
Tujuan
penulisan ........................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Islam
............................................................................................ 5
B.
Pengaruh Ajaran
Islam Bagi Lahirnya Organisasi Sosial Keagamaam............... 5
C.
Sumbangan
Ajaran Islam Bagi Perkembangan NKRI.................................... 14
D.
Partai Politik
dan Strategi Pemerintahani....................................................... 18
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................. 25
B. Saran .......................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tulisan
ini berangkat dari kenyataan bahwa agama, dengan segala ajaran dan organisasi-organisasinya,
mempengaruhi kehidupan manusia. Sejak dahulu kala, bahkan sejak manusia pertama
kali memulai kehidupan di muka bumi hingga hari ini, ketika manusia telah
sampai pada suatu fase kehidupan yang kita sebut sebagai zaman post-moderen.
Dari
penelaan singkat terhadap bahan-bahan tercetak yang kami peroleh untuk mengkaji
organisasi-organisasi sosial dalam Islam, terlihat betapa tidak memuaskannya
bahan-bahan tersebut. Memang tidak dapat dibuat gambaran yang jelas mengenai
perkembangan demikian, sangat sedikit pembahasan yang mendalam tentang peran
positif agama dan agamawan dalam proses maju atau berkembangnya suatu bangsa.
Tidak
mudah memang untuk bisa menyajikan bacaan-bacaan yang bermutu bagi para
pembaca,namun itulah yang menjadi titik tolak keberangkatan penulisan kami.
Kami sadar bahwa sudah bukan saatnya kita hanya menjadi konsumen dari hasil
pemikiran-pemikiran luar. Saatnya kita berfikir kritis dengan apa tujuan
sebenar kita menganut agama, dan apakah organisasi agama yang kita telah berda
di lingkarannya itu sudah benar dan sesuai. Yang terpenting juga adalah
mengenali dan memahami sebaik mungkin permasalahan yang bermunculan dalam
sekitar kita.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
sebenarnya islam itu?
2. Apa
sajakah organisasi-organisasi islam yang berkembang di Indonesia?
3. Apa
sajakah sumbangan ajaran Islam bagi perkembangan NKRI ?
4. Bagaimana
kaitan antara ajaran, partai politik Islam dengan strategi pemerintahan?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Memaparkan
dan menjelaskan arti Islam sebenarnya juga organisasi sosial Islam yang berkembang di
Indonesia.
2. Memaparkan
dan menjelaskan secara umum sumbangan ajaran Islam bagi perkembangan NKRI.
3.
Memaparkan dan menjelaskan sekelumit tentang
Partai politik Islam dan strategi pemerintahan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
ISLAM DAN
ORGANISASI-ORGANISASI SOSIAL KEAGAMAAN
A. Pengertian Islam
Kata Islam menurut bahasa berasal dari kosa kata
bahasa Arab “Aslama-Yuslimu-Islama” yang artinya selamat atau damai. Kata islam
dapat pula berarti tunduk, patuh, dan berserah diri kepada Allah swt. Sedangkan
menurut istilah islam adalah salah satu agama terbesar di muka bumi ini yang
pertama kali disebar oleh Nabi Muhammad saw. Adapun inti dari ajaran agama ini
adalah semata-mata demi keselamatan dan kedamaian umatnya dengan menekankan
akan keimanan dan ketakwaan hanya kepada Allah swt semata, berlandaskan
al-qur’an dan as-sunnah. Karena tonggak dasar agama ini adalah Arkanul Iman wal
Islam.
B. Pengaruh Ajaran Islam Bagi Lahirnya Organisasi Sosial Keagamaan
Besar
kecilnya pengaruh agama dalam berbagai aspek kehidupan manusia, memang sangat
tergantung dari ajaran dan perbuatan/perilaku dari orang-orang yang dianggap
sebagai wakil Tuhan dimuka bumi ini.Dalam penelitian ilmiah juga sering
dikemukakan keraguan yang cukup gawat
tentang peran agama dan agamawan dalam
beberapa segi tertentu. Kemudian keraguan itu diperkuat oleh adanya kesenjangan yang terlalu sering
terjadi antara ajaran suatu agama dengan tingkah laku atau sikap hidup penganut
agama tersebut, berikut organisasi-organisasi sosial pergerakan islam;
1. MUHAMADIYAH
Muhammadiyah ialah
suatu organisasi yang berdasarkan agama Islam, sosial, dan kebangsaan,
merupakan sebuah organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia sebelum
Perang Dunia II dan juga sampai sekarang ini. Organisasi ini didirikan di
Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 bertepatan dengan tanggal 18 Zulhijjah
1330 H, oleh Kiyai Haji Ahmad Dahlan atas saran yang diajukan oleh
murid-muridnya dan beberapa orang anggota Budi Utomo untuk mendirikan suatu lembaga
pendidikan yang bersifat permanen.
Organisasi ini mempunyai maksud “menyebarkan pengajaran kanjeng Nabi
Muhammad Saw kepada penduduk bumi putera”, dan “memajukan hal agama islam
kepada anggota-anggotanya”. Muhammadiyah
juga merupakan gerakan reformasi Islam di Indonesia.muhammadiyah berusaha
menghapuskan bidah, takhayul, dan takhlik yang ada dalam masyarakat.
Muhammadiyah berani melahirkan pikiran yang sehat dan murni dengan dasar
Al-Qur’andan hadits.
Di antara
sekian amal usaha di dalam Muhammadiyah yang paling menonjol ialah usaha di
bidang pendidikan dan sosial. Walaupun pada saat itu sudah ada sekolah-sekolah,
dirasakan tetap saja belum merata. Padahal pendidikan dan pengajaran merupakan
unsur mutlak untuk meninggikan kecerdasan rakyat. Itulah sebabnya Muhammadiyah
sangat mementingkan pendidikan dan pengajar- an di samping gerakan keagamaan
tentunya.
Untuk
meningkatkan pendidikan pemuda, dibentuk organisasi kepanduan yang disebut
Hizbul Wathon. Untuk meningkatkan pendidikan dan kecakapan wanita, Muhammadiyah
membentuk organisasi Aisiyah. Dalam perkembangan selanjutnya, pemudi-pemudi
Aisiyah membentuk Nasyiatul Aisiyah. Sesuai perkembangan zaman, sekarang
Muhammadiyah juga mendirikan rumah-rumah sakit, rumah yatim piatu,
sekolah-sekolah, dan usaha-usaha sosial kebudayaan yang lain. Untuk mencapai tujuan tersebut, organisasi
berupaya mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan
tabligh di mana dibicarakan masalah-masalah Islam, mendirikan wakaf dan
masjid-masjid serta menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, surat-surat kabar dan
majalah-majalah.
Usaha lain untuk
mencapai maksud dan tujuan itu ialah dengan:
a) Mengadakan dakwah Islam;
b) Memajukan pendidikan dan pengajaran;
c) Menghidup-suburkan masyarakat tolong menolong;
d) Mendirikan dan memelihara tempat ibadah dan wakaf;
e) Mendidik dan mengasuh anak-anak dan pemuda-pemuda supaya kelak menjadi
orang Islam yang berarti;
f)
Berusaha ke arah
perbaikan penghidupan dan kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam;
g) Berusaha dengan segala kebijaksanaan, supaya kehendak dan peraturan Islam
berlaku dalam masyarakat. (Anggaran Dasar Muhammadiyah Desember 1950).
2. NAHDLATUL ULAMA (NU)
Nahdlatul Ulama (NU)
didirikan di Surabaya pada tanggal 31 januari 1926 M bertepatan dengan tanggal
16 Rajab 1444 H oleh kalangan ulama penganut madzhab yang sering menamai
dirinya sebagai golongan Ahlussunnah
Waljama’ah yang di pelopori oleh K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Abdul wahhab
Hasbullah.
Jauh sebelum NU lahir
sebagai jam’iyyah (organisasi), ia
terlebih dahulu ada dan berwujud jama’ah (comunity) yang terikat kuat oleh aktifitas
sosial keagamaan yang mempunyai karakter tersendiri. Ketika di adakan pertemuan
ulama yang bermaksud membahas dan menunjuk delegasi komite hijaz,utusan yang
hendak di kirim untuk menyampaikan pesan kepada raja Abdul Aziz Ibnu Saud,
penguasa baru hijaz (Arab Saudi), ketika itu, juga secara sepontan menjawab
pertanyaan yang timbul kemudian yakni siapa yang berhak mengirim delegasi itu?
atau dalam istilah lain, organisasi apa dan apa pula namanya yang akan
bertindak memberikan mandat kepada deligasi hijaz tersebut. Dan jawaban yang
segera muncul pada waktu itu adalah kesepakatan membentuk subuah jam’iyah,
wadah baru bagi persatuan dan perjuangan parra ulama’. Namun demikian, bukan
berarti semua pertanyaan sudah terjawab sebab jam’iyah yang baru di sepakati
berdirinya belum di beri nama. Maka terjadilah perdebatan seputar nama yang cocok
buat jam’iyah yang baru saja di bentuk.
Dalam forum tersebut,
terdapat dua pendapat atau usulan yang sebenarnya sama tetapi implikasinya nya
berbeda. KH. Abdul Hamid dari Sidayu Gersik mengusulkan nama NU (kebangkitan
ulama’) yang di sertai penjelasan, bahwa para ulama’ mulai bersiap-siap akan
bangkit melalui perwadahan formal tersebut. Namun p[endapat itu mendapat
sanggahan keras dari KH. Mas Alwi bin Abdul Aziz. Menurut Mas Alwi, kebangkitan
ulama bukan lagi mulai atau akan bangkit. Melainkan, kebangkitan itu sudah
berlansung sejak lama dan bahkan sudah bergerak jauh sebelum adanya tanda-tanda
akan terbentuknya komite Hijas itu sendiri. Hanya saja kata Mas Alwi,
kebangkitan atau pergerakan ulama’ kalau itu memang belum terorganisasi secara
rapi. Akhirnya usul Mas Alwi di terima secara aklamasi, perdebatan berakhir
dengan lahirnya Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ yang pengertiannya lebih condong pada
gerakan serentak para ulama’ dalam suatu pengarahan atau gerakan bersama-sama
yang terorganisir.
Setelah peresmian wadah
baru itu maka tahap berikunya ialah pembentukan pengurus, dan setelah
kepengurusan lengkap terbentuk giliran selanjutnya masalah lambang (simbol).
Masalah simbol ini di percayakan kapada KH. Ridwan Abdullah. Lambang NU
bergambar ‘bola dunia’ di lingkari seutas tampar dan sembilan bintang, di
ciptakan oleh kiai Ridwan Abdullah berdasarkan mimpi setelah solat istikharoh
sedang tulisan arab adalah tambahan dari Kiai ridwan sendiri dan tidak termasuk
mimpi.
Dari muktamar yang
petama sampai kedelapan (1926-1933) yang pada dasarnya merupakan masa
perintisan. Titik berat kegiatannya terarah pada usaha pemantapan dan
memperkenalkan NU keluar daerah. Ini tercermin dalam komisi propaganda yang
dibentuk dengan misi khusus, menarik simpati masyarakat luas terhadap NU.
Dan tugas komisi mulai terlihat hasilnya
ketika NU berhasil mengadakan muktamar disemarang, kemudian muktamar
dipekalongan, terus muktamar di Cirebon, Bandung dan Jakarta. Semua itu
merupakan bukti kemampuan ‘LajnatunNashihin’ yang dipimpin lansung KH. Hasyim
Asy’ari, untuk mengakhiri masa perintisan menuju masa pengembangan NU.
Dalam masa perkembangan
ini, NU mulai bersungguh-sungguh memperhatikan masalah kepemudaan. Berbagai
organisasi pemuda yang pada dasarnya
seaspirasi dengan NU, dikumpulkan dalam satu wadah sebagai benteng
pertahanan sehingga dalam muktamar yang
kesembilan tersebut lahir sebuah keputusan: membentuk wadah pemuda yang diberi
nama Anshor Nahdlathoel Oelama (ANO). Dan organisasi pemuda ini kemudian
menjadi lebih penting artinya bagi
menopang induk organisasi setelah peraturan dasar dan peraturan rumah tangga
(PD/PRT) disahkan dalam muktamar NU berikutnya, di Solo, Jawa Tengah.
Selain membentuk ANO,
muktamar Banyuwangi juga memutuskan beberapa masalah keagamaan (masalah diniyah)
antara lain: masalah perselisihan paham tentang sembayang jum’at, masalah
perlunya memudahkan perkawinan buat orang kristen yang masuk islam dan hukuman
berat bagi orang yang menghina
al-Qur’an.
Motivasi Berdirinya NU
a) . Motif Agama
Penyebaran islam diindonesia
(khususnya di Jawa) oleh para muballig islam, terutama wali sanga berhasil
gemilang. Penyebaran islam pada abad ke-7 dan terutama setelah abad ke-11 dan
12 dapat dikatakan total menggantikan hinduisme dan budhisme yang sebelumnya
sangat berjaya. Pengaruh islam masuk hingga dalam ke sendi-sendi dan
kepemimpinan rakyat. Runtuhnya majapahit dan berdirinya kerajaan Islam demak
(pada sekitar 1478 M), adalah bukti kepercayaan masyarkat jawa dalam waktu
relatif singkat mewarnai kehidupan masyarkat disegala tingkat dihampir seluruh
negri.
Namun, keberhasilan itu
menjadi berantakan akibat ulah penjajah. Pada 1592 M, buat pertama kali bangsa
belanda mendarat dibanten. Kemudian menguasai indonesia selama 350 abad, tidak
hanya bermaksud mengeruk kekayaan bumi, tetapi juga menitipkan misi kristen
untuk ditanamkan kepada bangsa indonesia yang umumnya beragama islam.
Setelah diketahui
maksud sebenarnya, para pemuka-pemuka agama bangkit dimana-mana. Diawal XX para
pemuka islam mulai menghimpun kekuatan melalui dunia pesantren atau mendirikan
organisasi-organisasi sosial keagamaan yang pada saatnya nanti menjadi palu godam
ampuh buat memukul penjajah.
b) . Membangun Nasionalisme
Selain motif agama, NU
lahir karena untuk merdeka. Sekitar tahun 1914 KH. Abdul Wahab Hazbullah
mendirikan sebuah gedung bertingkat sebagai perguruan NW yang salah satu usaha
untuk membangun semangat Nasionalisme lewat jalur pendidikan. Ini terlihat dari
nama madrasah yang terpilih NW yang berarti pergerakan tanah air.
3. MIAI
Organisasi ini merupakan gabungan dari organisasi politik dan beberapa
organisasi massa yang bersifat moderat terhadap Belanda. Golongan Muslim yang
tergabung dalam organisasi memilih sikap nonkooperasi terhadap pemerintahan
kolonial. Saat Jepang berkuasa, organisasi ini mendapat kelonggaran menjalankan
aktivitasnya, sementara aktivitas organisasi yang lain dilarang. Karena MIAI
dipandang sebagai organisasi yang anti barat.
Suatu ketika seluruh pemuka agama diundang oleh Gunsikan, Mayor Jenderal
Okazaki ke Jakarta. Mereka diajak untuk bertukar pendapat. Pertemuan itu
menghasilkan MIAI harus menambah azas dan tujuannya. Kegiatan MIAI
menyelenggarakan badan amal dan peringatan hari keagamaan. Sebagai organisasi
yang diakui Jepang MIAI dianggap kurung memuaskan pemerintah Jepang. Pada
Oktober 1943 MIAI dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin
Indonesia (Masyumi). Masyumi dipimpin oleh K.H. Hasyim Asyari, K.H Mas Mansyur,
K.H Farid Ma’aruf, K.H Hasyim, Kartosudarmo, K.H Nachrowi, dan Zainal Arifin.
4. PERMI
Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) adalah nama organisasi hasil peleburan
Sumatera Thawalib, yaitu suatu organisasi Islam yang bercorak nasionalisme
radikal. Setelah kongresnya di Bukittinggi, pada tahun 22 Mei 1930, Sumatera
Thawalib menjelma menjadi Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) yang diketuai
oleh Mukhtar Luthfi.
Pada mulanya Permi bergerak di bidang sosial, tetapi sejak tahun 1932
berubah menjadi partai politik yang radikal berhaluan nonkooperatif. Persatuan
Muslimin Indonesia (Permi) bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Permi
mempunyai pengaruh yang luas di Sumatera. Kegiatan aksinya di Sumatera meliputi
daerah Tapanuli, Bukittinggi, dan Palembang. Karena aksinya yang keras, Permi
juga mendapat tekanan dari pemerintah kolonial Belanda. Pemimpin-pemimpinnya
termasuk Mukhtar Luthfi ditangkap dan dipenjarakan. Akhirnya, pada tanggal 11
Oktober 1937 Permi dibubarkan.
5. AL-WASHILIYAH
Berdirinya Al-Washiliyah dilatar belakangi oleh kesadaran beberapa pelajar
dan guru yang tergabung dalam perguruan Maktab Islamiah Tapanuli untuk bersatu
dalam menyalurkan ide dan pendapat. Pada tahun 1918, masyarakat Mandailing
menetap di Medan berinisiatif mendirikan sebuah Institusi Pendidikan Agama
Islam, bernama Maktab Islamiyah Tapanuli. Mereka ini adalah pendatang dari
daerah Tapanuli Selatan yang berbatasan langsung dengan tanah Minangkabau.
System pendidikan MIT adalah mencoba menggabungkan system tradisional dan
modern. Apa yang diajarkan tidak jauh berbeda dari pesantren-pesantren
tradisional, namun pengajaran sudah dilakukan secara klasikal dengan
menggunakan media-media modern seperti bangku, papan tulis, dan sebagainya.
Pendidikan inipun dibagi menjadi tiga tingkatan : persiapan ( tajhizi ), awal (
ibtida’I ), dan menengah ( tsanawi ). System dikelas mengikuti Universitas
Al-Azhar Kairo yang menjadi kiblat pendidikan umat islam saat itu yaitu
menerapkan system halaqah dengan duduk di lantai.
Pada tahun 1928, para alumni dan murid enior MIT mendirikan Debating
Club sebagai wadah untuk mendiskusikan pelajaran maupun persoalan-persoalan
sosial keagamaan yang sedang berkembang ditengah masyarakat. Debating
club ini berkaitan dengan diskusi-diskusi mengenai
nasionalisme dan berbagai paham keagamaan yang didorong oleh kaum pembaru. Para
anggota Debating Club merasakan perlunya tempat diskusi yang lebih besar
lagi. Lalu upaya ke arah ini mulai dirintis, sehingga pada tanggal 30 November
1930 bertepatan dengan 9 Rajab 1349, telah resmi berdirinya sebuah organisasi
yang diberi nama Al-Washliyah, yang bermakna organisasi yang ingin
menghubungkan dan mempertalikan. Hal ini berkaitan dengan keinginan memelihara
hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan sesama manusia, antarsuku,
antarbangsa dan lain-lain. Nama organisasi ini diambil dari Al-Qur’an.
Demikianlah nama dari Al-Washliyah yang memancarkan cita-cita yang tinggi yang
diharapkan menjadi roh bagi para simpatisannya.
Setelah resmi didirikan, kemudian
ditetapkanlah para pengurus Al-Washliyah yang berkedudukan di Medan, dengan
tahapan sebagai berikut:
1. Ketua I: Isma’il Banda.
2. Ketua II: A. Rahman
Sjihab
3. Penulis I: M. Arsjad
Thalib Lubis
4. Penulis II: Adnan Nur
5. Bendahara: H. M.
Yaa’kub
6. Pembantu: H.
Syamsuddin, H. Jusuf Ahmad Lubis, H. A. Malik, A. Aziz Effendy
7. Penasihat: Sjech H.
Muhammad Junus.
Berdasarkan Keputusan Kongres (Muktamar)
Al-Washliyah ke X Tanggal 10 Maret s/d 14 Maret 1956 di Jakarta, disepakati
bahwa kedudukan Pengurus Besar Al-Washliyah dipindahkan ke pusat pemerintahan.
Hal ini dimaksudkan aggar lebih dekat dengan kekuasaan pemerintah dan
memudahkan koordinasi dengan pengurus di tingkat wilayah di seluruh Indonesia.
Berdirinya Al-Washliyah tidak tergantung
pada seorang tokoh sentral yang karismatik sebagaimana halnya Ahmad Dahlan
dengan Muhammadiyah, Hasyim Asy’ari dengan NU, atau Ahmad Soorkati dengan
Al-Irsyad. Pendirian dan pertumbuhan awal Al-Washliyah lebih merupakan hasil
upaya bersama beberapa orang dengan peran dan keistimewaannya masing-masing.
Adapun orang-orang yang berperan penting dalam pendirian dan perkembangan
organisasi Al-Washliyah ini, yaitu Syekh Muhammad Yunus (tokoh yang dianggap
sebagai pendiri Al-Washliyah), Abdurrahman Syihab (tokoh yang mempunyai
kemampuan tinggi dalam rekruitmen anggota), Arsyad Talib Lubis (ulama
Al-Washliyah dengan ilmu dan pengetahuan agama islam yang mendalam), Udin
Syamsuddin (administrator dan ahli manajemennya).
Al-Washliyah dipandang sebagai organisasi
sosial keagamaan yang bersifat tradisional dalam paham keagamaan (ciri khas
Syafi’iyah), tetapi modernis dalam pendidikan islam (bentuk lembaga yang
didirikan seperti madrasah dan sekolah serta sistem dan kurikulum yang
digunakan.
6. PERSIS
Persatuan
Islam didirikan di Bandung pada tanggal 12 September 1923 oleh sekelompok orang
islam yang berminat dalam studi dan aktivitas keagaman yang dipimpin oleh
Zamzam dan Muhammad Yunus.
Persis mengembangkan cita-cita dan pemikirinnya melalui pertemuan umum,
tabligh, khotbah-khotbah, kelompok studi, mendirikan sekolah-sekolah dan
menyebarkan pamflet, majalah dan kitab. Dalam kegiatannya Persis mendapat
dukungan dan partisipasi daru dua tokoh penting yaitu :
1. Ahmad Hasan, seorang yang dianggap sebagai
guru Persatuan Islam sebelum perang.
2. Mohammad Natsir, seorang pemuda yang sedang
berkembang dan bertindak sebagai juru bicara dari Persatuan Islam kalangan
terpelajar.
Sama halnya dengan organisasi Islam lainnya, Persatuan Islam juga
memberikan perhatian besar pada kegiatan pendidikan, tabligh serta publikasi.
Salah satu caranya adalah dengan mendirikan lembaga pendidikan berupa sekolah
dasar, kursus, kelompok diskusi, pengajian dan pesantren. Dalam pendidikan ini
Persatuan Islam mendirikan sebuah madrasah yang awalnya dimaksudkan untuk
anak-anak dari anggota Persatuan Islam, dan kemudian madrasah tersebut dibuka
untuk umum. Madrasah ini membahas soal iman serta ibadah dengan menolak segala
kebiasaan bid’ah. Masalah yang sangat menarik pada saat itu adalah poligami dan
nasionalisme.
Selain mendirikan madrasah, Persatuan Islam juga mendirikan Pesantren
Persatuan Islam pada bulan Maret 1939 di Bandung. Dengan harapan
untuk membentuk kader-kader yang mempunyai keinginan untukmenyebarkan agama,
usaha ini merupakan inisiatif Hasan. Kemudian Pesantren ini dipindahkan ke
Bangil, Jawa Timur. Setelah pesantren dibuka di Bangil, maka muridnya bertambah
dari kepulauan Indonesia. Pada tahun 1941dibuka pesantren bagian perempuan. Dan
kedua pesantren ini berjalan baik.
Persis dan Muhammadiyah memiliki tujuan yang sama namun memiliki beberapa
perbedaan, yaitu :
No
|
Muhammadiyah
|
Persis
|
1
|
Muhammadiyah sangat giat dalam membentuk
banyak cabang.
|
Persis tidak terlalu giat dalam membentuk
banyak cabang
|
2
|
Muhammadiyah berusaha mengiring orang
masuk, lalu kemudian dibina orang tersebut dalam organisasi
|
Persis membina dahulu diluar, jika dianggap
sudah pantas baru direkrut menjadi anggota
|
3
|
Lebih mengutamakan aksi sosial melalui
sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan
|
Lenih mengutamakan dakwah lisan dan
tulisan, seperti memperbanyak tabligh, menerbitkan buku, mengadakan diskusi
umum dan lain-lain.
|
Tidaklah mengherankan jika organisasi Persis jauh lebih kecil dibanding
Muhammadiyah dalam jumlah anggota dan aktivitasnya. Persatuan Islam hanya
memiliki 200 cabang diseluruh Indonesia, yang menangani ratusan sekolah dan
pesantren.
C. Sumbangan Agama Islam dalam membangun NKRI dan Menghadapi tantangan luar
dan dalam.
1. Tantangan Islam dan NKRI
Meskipun Indonesia merupakan salah satu kesatuan
bangsa muslim terbesar di bumi tetapi sesungguhnya masih dalam tahap perkembangan dalam
artian masih berada di fase pembentukan, masih sedang menyiapkan masa depannya,
bahkan bisa dikatakan bahwa umat islam Indonesia sekarang ini betul-betul baru
pada tahap permulaan mengecap hasil perjuangan mereka sendiri selama
bertahun-tahun melawan dan menghalau penjajah. Oleh karena itu tidak mustahil
jika selalu saja ada tantangan yang menghadang perkembangannya. Tantangan itu
dapat bersifat internal ataupun eksternal. ( Nurcholis Madjid, Islam,
Kemodernan, dan KeIndonesiaan : hal. )
a). Tantangan Dalam Negeri
Tantangan umat Islam pada saat ini terbagi menjadi dua
yaitu tantangan dari dalam negeri dan tantangan dari luar negeri. Tantangan
dari dalam negeri adalah yang paling terkait dengan persoalan kebebasan
beragama dan berkeyakinan (KBB) yang menurut Komnas HAM kian meningkat. Jika
pada tahun 2013 Komnas HAM menerima pengaduan terkait KBB sebanyak 39 berkas,
maka pada tahun 2014 pengaduan sudah naik menjadi 67 berkas. Kasus tertinggi,
sebanyak 30 berkas terkait dengan rumah ibadah, 22 berkas untuk kekerasan dan
diskriminasi, lalu 15 berkas untuk penghalangan terhadap ritual pelaksanaan
ibadah
Tentu sejumlah laporan ke Komnas HAM tersebut
bukan hanya permasalahan Komnas HAM tapi juga menjadi permasalahan NU dan
Muhammadiyah selaku dua ormas Islam terbesar dan pengayom umat yang menjadi
mayoritas di Indonesia.
Selain kasus-kasus yang telah dicatat oleh Komnas HAM, kasus-kasus yang telah akut seperti kasus GKI Yasmin, kasus pengungsi Ahmadiyah di Transito NTB dan kasus pengusiran dan tindak kekerasan terhadap Muslim Syiah Sampang juga merupakan tantangan berat bagi NU dan Muhammadiyah. Sebab hingga saat ini pemerintah yang sudah berganti kepemimpinan belum mampu menyelesaiakan permasalahan tersebut, hingga menjadi catatan hitam perjalanan kerukunan umat Islam di Indonesia. Maka NU dan Muhammadiyah memiliki kewajiban moral untuk membantu penyelesaian permasalahan tersebut.
Selain kasus-kasus yang telah dicatat oleh Komnas HAM, kasus-kasus yang telah akut seperti kasus GKI Yasmin, kasus pengungsi Ahmadiyah di Transito NTB dan kasus pengusiran dan tindak kekerasan terhadap Muslim Syiah Sampang juga merupakan tantangan berat bagi NU dan Muhammadiyah. Sebab hingga saat ini pemerintah yang sudah berganti kepemimpinan belum mampu menyelesaiakan permasalahan tersebut, hingga menjadi catatan hitam perjalanan kerukunan umat Islam di Indonesia. Maka NU dan Muhammadiyah memiliki kewajiban moral untuk membantu penyelesaian permasalahan tersebut.
b). Tantangan Luar Negeri
Selain tantangan dari dalam, tantangan dari luar negeri
juga tidak bisa dianggap enteng. Salah satunya adalah stigma yang dilekatkan
pada Islam sebagai agama barbar dan penyebar teror, sehingga Islam dianggap
identik dengan agama teror.
Stigma ini diakibatkan oleh sejumlah kelompok umat yang mengatasnamakan Islam dan mengambil langkah kekerasan untuk menyelesaikan persoalan. Salah satu yang paling tenar saat ini adalah fenomena munculnya kelompok ISIS. Kelompok pengaku Islam yang berusaha untuk membentuk negara Islam dan kekhalifahan ini menempuh jalan peperangan dan bahkan pembunuhan kepada umat agama lain dan bahkan kepada umat Islam sendiri hanya karena alasan tidak mau mendukung mereka.
Stigma ini diakibatkan oleh sejumlah kelompok umat yang mengatasnamakan Islam dan mengambil langkah kekerasan untuk menyelesaikan persoalan. Salah satu yang paling tenar saat ini adalah fenomena munculnya kelompok ISIS. Kelompok pengaku Islam yang berusaha untuk membentuk negara Islam dan kekhalifahan ini menempuh jalan peperangan dan bahkan pembunuhan kepada umat agama lain dan bahkan kepada umat Islam sendiri hanya karena alasan tidak mau mendukung mereka.
Tentu saja, kedua ormas ini memiliki tanggung jawab
untuk menghapus stigma teroris yang diterima umat Islam dan menjaga Islam yang
ada di Indonesia agar tidak terkontaminasi kelompok-kelompok Islam yang
menggunakan jalan peperangan untuk menyelesaikan permasalahan mereka. Jika
tidak, maka bukan tidak mungkin apa yang saat ini terjadi di Timur Tengah juga
akan terjadi di Indonesia dan tentu kita semua tidak mengharapkan hal itu.
Dengan ditutupnya dua Muktamar ormas Islam terbesar
itu, ibarat dua sayap Islam Indonesia kita semua tentu berharap NU dan
Muhammadiyah ke depan akan mampu membawa umat Islam Indonesia terbang lebih
tinggi lagi dan mampu menyelesaikan dua tantangan berat umat baik dari luar
maupun dari dalam negeri. ( Garis politik dan cita-cita pembentukan umat,
Turmudi Endang : hal.17 ).
2.
Sumbangan
Agama dan Umat Islam demi perkembangan NKRI
Di samping dua tantangan itu para muslim pun juga
banyak memberikan sumbangan demi berkembangnya Negara Kesatuan Republik
Indonesia ini, dari zaman sebelum penjajahan hingga Indonesia merdeka seperti
sekarang ini. Di antaranya adalah sebagai berikut :
a. Peran Historis Umat yang Bersemangat Keislaman
Partisipasi warga Indonesia yang bersemangat keislaman dalam perjuangan
untuk memperoleh kemerdekaan itu juga sangat menentukan, ditandai dengan
didirikannya monumen Tugu Syuhada dan Masjid Istiqlal. Dengan jelas kedua
monumen itu melambangkan pengakuan tentang adanya keindonesiaan dan keislaman,
adanya kemerdekaan dan peran besar warga yang bersemangat keislaman. Salah satu
contoh yang bisa kita kaji adalah bagaimana ketika warga muslim yang memenuhi panggilan
tanah air untuk menghancurkan kaum komunis, sehingga kemudian menghantarkan
bangsa ini memasuki orde baru.
Dengan partisipasi penuh dalam pendidikan modern dan dalam semua segi
kehidupan nasional lainnya, para warga atau penerus bangsa yang bersemangat
keislaman itu sekarang sedang mengumpulkan pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman
teknis yang amat diperlukan bagi terealisasikannya peran pada tingkat yang
lebih tinggi di masa mendatang. (Tradisi Islam dst, Nurcholis Madjid: hal. 21)
b. Mengembangkan Etos Keilmuan Untuk Indonesia Masa Depan.
Tantangan terbesar NKRI yang terkenal kaya akan sumber daya alam ini ialah
kekurangan sumber daya manusia, peran mereka di bidang keilmuan sangat minim.
Sedangkan kunci kemakmuran itu terletak pada seberapa berkualitasnya SDM dan
taraf pendidikan negara itu sendiri. Faktor manusia lebih menentukan dari
faktor sumber daya alam.
Sudah sekian lama, setidaknya dampak sosial dari kehadiran kaum terpelajar
kalangan rakyat yang sebagian besar beragama Islam mulai terasa. Ini dapat
dilihat dalam berbagai sektor kehidupan yang menyangkut kelompok orang-orang
berpengetahuan, ini merupakan kriteria utama kehidupan modern yang maju. Masa
depan bangsa dan negara kita akan sangat ditentukan oleh kehadiran kaum
terpelajar ini karena pada hakikatnya yang demikian inilah cita-cita dan hasil terpenting
kemerdekaan.
Etos keilmuan ini sejajar dengan etos ijtihad, karena ijtihad itu sendiri
selaras dengan ide tentang mengikuti suatu jalan pikiran yang tidak hanya pada
batas qaul-an tetapi juga mencakup bahkan terfokus pada metodologinya. Perlu
diketahui bahawa kebangkitan islam kembali
di zaman modern ini berhubungan erat dengan ditumbuhkan dan
dikembangkannya etos ijtihad itu pula..
Berdasarkan hal-hal di atas, maka pengembangan etos keilmuan di negeri kita
dapat mengacu sepenuhnya pada etos keilmuan yang diajarkan Islam dan telah
dibuktikan oleh sejarahnya yang panjang (kita haru ingat bahwa masa kejayaan
islam dahulu masi dua-tiga kali lipat lebih besar daripada masa kejayaan Barat
modern sekarang ini). Menurut logika Islam , untuk membuat kita lebih mampu
menghadapi tantangan zaman dan meresponinya kita harus mampu dengan cermat
mendeteksi gejala perkembangan sosial yang terjadi kemudian kita fahami
kecenderungan dasar yang melandasi dan melatar belakanginya. Degan kata lain
kita harus percaya pada manusia dan
kemanusiaan yang banyak ditekankan Islam. Percaya pada manusia dan kemanusiaan
inilah yang dahulu melandasi para pemikir muslim sehingga mereka tidak
segan-segan belajar dari siapa saja dan ke mana saja.
(“Tradisi Islam dst”, Nurcholis Majdjid: hal.29-36)
c. Islam dalam lingkup budaya menegakkan disiplin nasional
Dalam agam Islam, bagian dari sikap keagamaan yang seharusnya melahirkan
disiplin ialah kesadaran akan tanggung jawab pribadi. Tanggung jawab atas
segala perbuatan yang baik dan buruk di hadapan Tuhan dalam pengadilan Ilahi.
Dari uraian ini dapat dilihat adanya kaitan antara disiplin dengan konsep
tentang balasan setimpal terhadap perbuatan baik ataupun buruk; konsep
keagamaan balasan-dosa. ( “Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dst”,Nurcholis
Madjid : hal. 138-140 )
Karena adanya keterkaitan itu maka disiplin tidak bisa dipisahkan dengan
masalah penegakan hukum dalam masyarakat. Dengan tertib hukum demikian akan
memberi kerangka institusional pada sikap berdisiplin, namun tertib hukum itu
tidak akan terwujud dengan baik tanpa partisipasi semua anggota masyarakat, dalam
semngat, saling mengingatkan tentang kesabaran dan kebenaran. Sebagai
konsekuensinya berkenaan dengan disiplin ini masing-masing anggota masyarakat
dapat dengan bebas untuk saling memperingatkan dan saling mengawasi, serta
untuk secara bersama memikul beban “penderitaan sementara”, karena yakin bahwa
kelak dalam jangka panjang, kebahagiaan sejati akan terwujud. Sebagaimana kita
ketahui ini adalah interpretasi ajaran khas agama Islam tentang dunia dan
akhirat yang sekaligus sumbangan motivasi bagi berkembangnya NKRI.
d. Demokratisasi dan pembangunan nasional.
Agama islam selamanya akan tetap relevan bagi kehidupan, baik untuk
kehidupan individu maupun kehidupan sosial masyarakat. Relevansi ini juga
berlaku bagi negeri dan bangsa kita di masa depan. Islam tidak akan terkalahkan
oleh ilmu pengetahuan, tetapi justru akan menjadi wahana bagi kreatifitas dan
inovasi yang menjadi pijakan bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Sudut pandang umat islam yang beranggapan bahwa demokrasi adalah suatu cara
bukan tujuan. Demokrasi harus kita pandang sebagai suatu cara demi mendapatkan
tujuan itu sendiri. Hal ini akan menentukan kualitas tujuan yang dicapai oleh
suatu bangsa. Suatu tujuan yang dicapai secara secara demokratis akan memiliki
keabsahan yang lebih tinggi daripada jika dicapai sebaliknya. Maksudnya jika
tujuan membenarkan cara yang ditempuh, maka cara yang ditempuh itu sendiri akan
ikut membenarkan tujuan yang dicapai, Contohnya pada tantangan perbedaan
pendapat dalam masyarakat. Ada yang beranggapan bahwa perbedaan pendapat itu
akan memberi nilai positif bagi perkembangan masyrakat, tidak bisa dibenarkan
kecuali jika disertai dengan cara penyelesaian yang ramah. Usaha penyelesaian
yang dikehendaki oleh masyarakat yang demokratis ialah diperlukan adanya
kompromi antara berbagai pihak yang bertikai, diperlukan adanya kesadaran
tentang etika dan aturan main bermusyawarah yakni hak semangat mengutarakan
pendapat secara bebas dan kewajiban mendengar pendapat orang lain dengan penuh
pengertian dan rasa hormat. Inilah salah satu sumbangan islam Indonesia
terhadap bangsanya yang berpijak pada bentuk pemerintahan demokrasi.
D. Asal-Usul Partai Politik, dan Strategi Politik
1. Asal
usul partai islam
Sejarah partai politik islam dapat ditelusuri sejak
masa kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan yang berseteru dengan Ali bin Abi
Thalib. Peristiwa ini dikenal dengan “peristiwa Ali kontra dengan Utsman” yang
menimbulkan perdebatan di kalangan kaum muslimin. Hal pertama yang yang
diperselisihkan adalah mengenai imamah
(kepemimpinan kaum Muslimin) dan syarat-syaratnya serta siapa yang berhak
memegangnya. Kelompok Ali meyakini bahwa imamah
yang tepat adalah Ali dan keturunan-keturunannya. Sedangkan lawan politiknya
mengatakan, bahwa yang berhak memegang jabatan imamah haruslah orang terbaik dan paling cakap meskipun dia budak
dan bukan dari keturunan Quraisy (Pengantar Teologi Islam, 2003).
Setelah Utsman meninggal (Tahun 655 M), pembaiatan
umat Islam terhadap Ali sebagai Khalifah terakhir ternyata tidak disetujui oleh
seluruh kaum Muslimin pada saat itu. Pada saat yang bersamaan, umat Islam
terpecah belah menjadi dua kubu. Pertama,
kubu yang mendukung pembaiatan Ali. Kedua, kubu yang mendukung Mu’awiyah
sebagi khalifah yang tepat setelah Utsman bin Affan. Di satu sisi, Ali
menyatakan bahwa pembaiatannya telah resmi dan sah. Bagi mereka yang terlambat
membaiat, diminta untuk mengikuti keputusan yang sudah ditetapkan oleh kaum
Muslimin di Madinah, tempat tinggal Nabi Muhammad SAW dan kampung halaman para
sahabat. Di sisi yang lain, kelompok penentang Ali menyatakan bahwa
pembaiatannya tidak sah karena Ahlu Hill
wal ‘Aqd (lembaga yang berhak memilih pemimpin Islam) berselisih pendapat.
Di antara para anggota lembaga ini ada yang mengatakan, bahwa yang cocok
menjadi khalifah adalah Mu’awiyah, Amr bin Ash, Ummul Mu’mini ‘Aisyah, dan lain
sebagainya (Teori Politik Islam,
2001).
Di samping kedua kelompok ini, ada kelompok ketiga
yang minoritas. Kelompok ini tidak menemukan bentuk kebenaran sehingga mereka
tidak hadir dalam pembaiatan, menjauhi massa, dan tidak ikut serta dalam
peperangan. Kelompok ini juga berpandangan, bahwa umat Islam sedang dalam
fitnah sehingga harus ditenangkan dulu sebelum memulai memikirkan soal khalifah.
Mereka yang tergabung dalam kelompok ini antara lain Saad bin Abi Waqqas,
Abdullah bin Umar, Usamah bin Zaid, Muhammad bin Maslamah, Abu Said Al-Khudlri,
Hassan bin Tsabit, Maslamah bin Mukhallad, Abdullah bin Salam, dan An-Nu’man bi
Basyir. Dalam perkembangan selanjutnya, para pendukung Ali mengalami konflik
internal dan terbelah menjadi dua. Kelompok pertama disebut Syiah, yaitu
orang-orang yang tetap setia dan loyal dengan kekhalifahan Ali hingga wafatnya.
Kesetian kelompok pertama ini hingga anak cucu keturunan berikutnya. Kelompok
kedua disebut dengan kaum Khawarij, yaitu kelompok yang pada awalnya begitu
amat sangat setia pada Ali tetapi karena sebuah peristiwa At-Tahkim, akhirnya
mereka keluar dari barisan pendukung Ali, bahkan menjadi pembangkang dan
mengecam Ali dan pendukungnya (Teori
Politik Islam, 2001). Selain itu, hal yang menjadi perdebatan antara
kelompok Syiah dah Khawarij adalah apa yang dimaksud dengan dosa besar. Dari
perdebatan ini menimbulkan perselisihan mengenai perdebatan iman. Perdebatan
tentang dosa besar ini bermula dari pembunuhan terhadap Utsman. Dari sinilah
awal munculnya partai politik Islam yang kemudian melahirkan sekte-sekte
politik pada periode selanjutnya, seperti Murjiah, Asy’ariyah, Mu’tazilah serta
sekte-sekte selanjutnya.
Dalam sejarah politik Indonesia, di kalangan pemikir
Islam mengalami perdebatan tentang suatu hal yang sangat fundamental: Mengenai
perlukah umat Islam melahirkan dan memiliki partai Islam? Di satu sisi, ada
kelompok yang menolak dibentuknya partai Islam yang diwakili oleh pemikiran
Nurcholis Madjid atau biasa dikenal dengan Cak Nur. Di sisi lain, ada kelompok
yang sangat keras memperjuangkan perlunya kelahiran parta Islam sebagai alat
perjuangan dan aspirasi politik kaum Muslim untuk mengimplementasikan
nilai-nilai Islam yang menurut mereka sesuai dengan kehidupan umat di dalam
sebuah negara.
Untuk gagasan yang pertama, yaitu tidak perlunya
dibentuk partai Islam merupakan hasil renungan Cak Nur, menurut beliau harus
ada pemisah antara urusan agama dan politik. Agama tidak boleh dibawa-bawa pada
urusan praktis yang ujung-ujungnya hanya akan membawa konflik antara umat
Islam. Dengan adanya pemisahan tersebut, umat Islam bisa lebih konsentrasi pada
urusan-urusan dakwah dan keummatan serta urusan lain semisal pendidikan dan
sosial. Sedangkan urusan politik diserahkan pada partai politik yang cenderung
menggunakan simbol nasionalis atau moderat tanpa harus mencantumkan asas dan
simbol-simbol Islam.Sedangkan gagasan yang kedua, yaitu perlunya partai islam
sebagai alat perjuangan politik Islam muncul dari kalangan praktisi politik.
Menurut mereka, mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Ini merupakan modal
besar bagi mereka untuk mendirikan partai politik agar aspirasi kelompok Islam
dapat terwakilkan dalam kebijakan-kebijakan di pemerintahan. Pemikiran kedua
ini hingga kini diyakini oleh sebagian besar kelompok Islam dan pada
kenyataannya animo kaum Muslim untuk berpolitik praktis tetap besar, sehingga
pemikiran Cak Nur pasca meninggalnya seolah terpinggirkan dan tak lagi
diunculkan ke permukaan.
Namun demikian, partai politik Islam telah ada dan
berkembang hingga saat ini. Dari sini dapat diketahui, bahwa lahirnya partai
politik Islam di Indonesia menunjukkan kenyataan di mana dinamika politik di
negeri ini salah satunya berorientasi aliran. Menurut Th. Sumartana,
sebagaimana dikemukakan oleh Romli ( Islam
Yes Partai Islam yes, 2006) ada
beberapa hal yang menyebabkan munculnya partai politik berbasis agama. Pertama, karena agama itu sendiri
memiliki dukungan teologis untuk mencapai cita-cita berdasarkan gagasan-gagasan
keagamaan yang dipercayai. Kedua, karena
ikatan politik dari para warganya menyebabkan agama sebagai faktor pengikat
untuk mendukung pemimpin dari kelompok agama tersebut. Ketiga, karena umat agama tersebut merasa lebih nyaman dengan
pemimpin politik yang lahir dari komunitasnya sendiri tidak percaya manakala
politik dikuasai oleh kelompok agama yang lain
2. Pendekatan
Politik Islam dalam Strategi Pemerintahan.
Di tengah masyarakat yang heterogen dan majemuk
serta konflik horizontal yang salah satunya diakibatkan oleh konflik agama,
maka sulit bagi kelompok Islam untuk mengimplementasikan gagasan negara Islam
di Indonesia. Hal ini dapat terlihat ketika perdebatan tentang dasar negara
dalam sidang BPUPKI yang di selenggarakan pada tanggal 29 Mei- 1 Juni 1945.
Menurut Anshari ( Piagam Jakarta 22 Juni
1945: sebuah Konsensus Nasional tentangDasar Negara Republik Indonesia
1945-1949,1997), perdebatan di antara para anggota sidang memunculkan dua
gagasan utama tentang dasar negara. Kelompok nasionalis Islam menginginkan agar
Indonesia didirikan sebagai negara Islam. Sedangkan kelompok nasionalis sekuler
menginginkan Indonesia sebagai negara persatuan nasional yang memisahkan antara
urusan negara dan Islam. Selain kelompok nasionalis Islam, seperti Kahar
Muzzakir, Abikoesno Tjokrosoe-joso, Agus Salim, Ahmad Soebarjo, dan wachid
hasyimyang tergabung dalam “Panitia Sembilan” sebagai penggagas Piagam Jakarta,
anggota sidang BPUPKI lainnya yang juga mendukung Piagam Jakarta adalah Ki
Bagus Hadikusumo, saat itu menjabat ketua PP Muhammadiyah.
Kemudian, sehari setelah kemerdekaan, 18 Agustus
1945, anggota PPKI mengadakan sidang untuk menetapkan UUD beserta mukadimah dan
persoalan lain yang diusulkan oleh para anggota sebelum dan sesudah kemerdekaan
(Piagam Jakarta 22 Juni 1945: sebuah
Konsensus Nasional tentangDasar Negara Republik Indonesia 1945-1949,1997).
Dalam sidang itu, Mohammad Hatta menyampaikan beberapa usulan perubahan, di
antaranya perubahan pada preambul Piagam Jakarta, yaitu anak kalimat: “Berdasarkan kepada Ketuhanan, dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi
“berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha
Esa” (Islam dan Negara dalam Politik
Orde Baru, 1996). Pada awalnya, sebagian anggota PPKI menolak gagasan Bung
Hatta namun setelah meyakinkan dengan berbagai alasan agar jangan sampai pecah
dengan non-muslim demi kemerdekaan Indonesia, akhirnya perubahan tersebut
disetujui dan syariat islam sebagai ideologi negara mengalami kegagalan.
Sepuluh tahun kemudian, perdebatan negara Islam
kembali muncuk kepermukaan dalam sidang Majelis Konstituante setelah Pemilu
1955. Menurut Syafii Maarif (Islam dan
Masalah Kenegaraan, 1985), Majelis Konstituante diharapkan mampu membuat
UUD yang permanen untuk menggantikan UUD Sementara yang pernah dimiliki. Namun,
usaha itu belum dapat terselesaikan hingga sidang berakhir pada 2 Juni 1959.
Situasi yang tengah macet ini diatasi oleh Soekarno dengan mengeluarkan Dekrit
Presiden pada tanggal 5 Juni 1959 dengan membubarkan Majelis Konstituante dan
menetapkan kembali berlakunya UUD 1945 sebagai dasar ideologi negara, dengan
mempertimbangkan Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 yang menjiwai UUD 1945.
Ini artinya, perjuangan syariat Islam kembali menemukan kegagalan untuk yang
kedua kalinya.
Pada era Orde Baru, kekuatan-kekuatan politik Islam
dibendung agar tidak muncul ke permukaan. Hal ini mengakibatkan perjuangan
politik Islam tidak dapat bergerak bebas. Di rezim Soeharto, gagasan negara
Islam dibungkam rapat-rapat. Meskipun demikian gerakan bawah tanah dari
kelompok Islam militan tetap dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil. Di
beberapa daerah muncul organisasi Islam garis keras yang melakukan perlawanan
terhadap rezim Orde Baru, seperti KPPSI di Makassar (Sulawesi Selatan) dan KPPSI
di sumatera Barat.
Meskipun dibungkam, teriakan dari bawah tanah umtuk
mendirikan gagasan negara Islam selalu muncul dalam berbagai bentuk perjungan.
Pasca tumbangnya rezim Soeharto, perjungan untuk mengembalikan Piagam Jakarta
dalam UUD 1945 muncul ke pelataran publik terutama dalam Sidang Tahunan MPR
yang berlangsung sejak 2000-2002. Dalam sidang tersebut, muncul dua arus sikap.
Pertama, sikap mendukung terhadap
gagasan negara Islam yang diwakili kelompok nasionalis Islam. Kedua, sikap penolakkan terhadap gagasan
tersebut. Menurut laporan riset yang dilakukan oleh Sumarjan (Tinjauan Kritis Respon Parlemen Terhadap
Masalah Piagam Jakarta: Debat Penerapan Syariat Islam, 2002) dari Inside
Jakarta, setujunya kelompok Islam terhadap pemberlakuan Piagam Jakarta
didasarkan pada alasan, bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam,
syariat Islam dapat menjadi alternatif di tengah kegagalan penegakan hukum
sekuler, dan secara historis perdebatan tetang Piagam Jakarta belum selesa.
Sedangkan ketidaksetujuan kelompok nasionalis terhadap pemberlakuan Piagam
Jakarta karena menghidupkan kembali Piagam jakarta sudah tidak relevan lagi
utuk konteks sekarang.
Perkembangan isu Piagam Jakarta diikuti juga oleh
proses negosiasi antar partai ketika pleno Panitia Ad Hoc Badan Pekerja MPR
yang membahas pasal 29. Hasil negosiasi itu menghasilkan empat pembahasan
alternatif. Pertama, negara
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang didukung oleh F-PDIP dan F-PG. Kedua, negara berdasarkan atas Ketuhanan
Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya yang didukung oleh F-PPP dan F-PBB. Ketiga, negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan
kewajiban melaksanakan ajaran agama bagi masing-masing yang didukung oleh F-PKB
dan F-Reformasi. Keempat, negara
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
namun tidak ada satupun fraksi yang mendukung alternatif ini.
Dari sini telah nampak, bahwa usaha-usaha yang
dilakukan oleh kelompok Islam tidak berhasil. Terbukti upaya-upaya itu tidak
mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen. Bagi sebagian pengamat, kandasnya perjuangan
dalam amndemen pasal 29 merupakan kekalahan politik Islam. Sementara bagi
sebagian pihak yang memperjuangkan amandemen tersebut, mereka merasa tidak
kalah. Hanya belum menang. Namun persoalan memperjuangkan pasal 29 telah
membelah umat Islam ke dalam pro dan kontra secara ekstrem,baik di internal
partai maupun di lingkungan organisasi sosial keagamaan umat Islam. Bagi partai
dan kelompok Islam yang memperjuangkan tujuh kata tersebut, itu merupakan
langkah perjuangan Islam. Namun, di sisi lain, pemberlakuan Piagam Jakarta
dapat membawa kehancuran Indonesia.
Di tubuh umat Islam sendiri belum ada kata sepakat
tentang beberapa hal. Pertama,
tentang konsep syariat Islam dan pelembagaannya dalam kehidupan bernegara. Kedua, tentang strategi politik Islamitu
sendiri. Ketiga, tentang formalisasi
dan amandemen pasal 29 dengan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Tapi, bagi pihak
yang tidak setuju aka menilai, seperti penilaian yang disampaikan oleh Majelis
Sinergis Kalam ICMI, bahwa kelompok yang memperjuangkan amandemen tersebut
dianggap hanya melakukan komoditas politik semata. Hal ini menandakan bahwa
politik di kalangan elite Islam masih belum ada titik temu. (Majalah Suara Muhammadiyah,
16-30/09/2002)
Menurut Cipto (Majalah
Suara Muhammadiyah, 16-30/09/2002), kegagalan pengembalian Piagam Jakarta
pada pasal 29 setidaknya didasarkan oleh empat hal. Pertama, usulan tersebut tidak mendapat dukungan partai-partai
besar yang mendomisili legislati dan eksekutif. Kedua, kedua ormas Islam terbesar berpikiran usulan teresbut tidak
bijak untuk dikembangkan lebih lanjut. Terbukti, Muhammadiyah mengeluarkan
surat edaran tentang penolakan penegakkan syariat Islam dan perubahan pasal 29
yang juga dimuat dalam Suara Muhammadiyah (1-15/09/2002). Ketiga, umat Islam pada umumnya tetap mampu mengembangkan
organisasi masing-masing tanpa perubahan pada pasal 29. Keempat, usulan tersebut hanya sekedar supaya kelompok minoritas
untuk meningkatkan dukungan.
Selaras dengan itu, Amien Rais dalam Suara
Muhammadiyah (1-15/09/2002) menilai bahwa keberadaan pancasila sebagai ideologi
dan falsafah negara sudah cukup memadai bagi umat Islam yang merupakan
mayoritas penduduk Indonesia. Dengan demikian, sebenarnya Negara Pancasila
secaa substantif adalah ‘negara Islami” sebagaimana dikemukakan oleh Dien
Syamsuddin (Etika Agama dalam Membangun
Masyarakat Madani,2000). Hal tersebut didasarkan pada Pancasila yang
mengandung nilai-nilai Islamsubstansial, seperti tauhid, kemanusiaan,
persaudaraan, demokrasi, dan keadilan. Selain itu, berdasarkan kenyataan, bahwa
“Negara Pancasila agama” memiliki tempat yang tinggi. Walaupun Pancasila sering
dinilai bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler, tetapi pada
kenyataannya, Negara Pancasila adalah negara “demokrasi yang bersifat
keagamaan”. Karena itu, Amien Rais (Majalah
Suara Muhammadiyah, 16-30/09/2002) mengambil kesimpulan, suatu saat umat
Islam bisa saja membuat Negara Islam ketika umatnya sudah bersatu padu
menggagas sebuah masa depan yang jelas, kemudian semua wakil rakyat (parlemen)
sekitar 95% lebih menghendaki negara yang syariah, maka bisa jadi pada saat itu
pembicaraan tentang negara Islam dan lain sebagainya dapat diterima oleh akal
sehat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menelaah kembali asal-usul dan perkembangan dari setiap organisasi
pembaharu dalam berbagai bidang, dapat diambil kesimpulan bahwa setiap
organisasi mempunyai visi misi yang sama dalam membaharui Indonesia baik dari
segi agama, pendidikan dan politik kearah yang lebih maju, untuk mengejar
berbagai ketinggalan-ketinggalan Negara sekutu. Tidak dapat dipungkiri system
pembaharu dalam berbagai bidang ini memunculkan pro dan kontra di kalangan
masyarakat Indonesia sendiri.
Organisasi-organisasi baru ini memiliki basis
ideologi, pemikiran, dan strategi gerakan yang berbeda dengan ormas-ormas yang
pada umumnya. Mereka memiliki karakter yang lebih militant, radikal,
skripturalis, konservatif, dan eksklusif. Berbagai ormas baru tersebut memang
memiliki platform yang beragam, tetapi pada umumnya memiliki kesamaan visi, yakni
pembentukan “Negara islam” (daulah islamiyah) dan mewujudkan penerapan syariat
islam, baik dalam wilayah masyarakat, maupun negara.
B. Saran
Sebaiknya kita memandang islam tidak hanya pada satu
sudut pandang, agama Islam dan pemeluk-pemeluknya bagaikan suatu bangunan yang
satu, suatu bangunan yang sama. Masing-masing saling memberi bentuk dan reaksi selama masih hidup dan memiliki
kesadaran beragama.
DAFTAR PUSTAKA
- Madjid, Nurcholis. Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, Jakarta: Paramadina.1997
- Al-Hafni, Abdul Mun’im, Golongan, Kelompok Aliran, Mazhab, Partai dan Gerakan Islam, Jakarta : Grafindo Khazanah Ilmu 2006
- Hasan, Muhammad Thalhah, Ahlussunnah Wal Jama’ah Dalam Persepsi dan Tradisi NU, Jakarta : Lantaroba Press, 2005
- Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia, 1982
- Majalah Suara Muhammadiah, November 2002
- Mansur, Rekontruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Departemen Agama RI, 2005
- H.A.R.Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo,1995
- Nizar Samsul, Sejarah Pendidikan Islam Jakarta : Kencana, 2007
- Azra,Azyumardi, dkk, Urban Sufisme, Jakarta : Rajawali Pers :2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar