MAKALAH
“Mewujudkan Pribadi yang Berwawasan Keislaman, Kemodernan dan KeIndonesiaan”
Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Islam semester dua.
Disusun oleh :
(Kelompok 13, Kelas Farmasi B)
Fella Salinda Putri 11151020000058
Rifka Annisa 11151020000064
Habibah Sabrina H. 11151020000091
Dosen Pembimbing : Siti Nadroh , M.Ag
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat serta hidayah-Nya sehingga dalam pembuatan makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Salam dan shalawat semoga tetap tercurahkan kepada Rasul kita Rasulullah Muhammad SAW, kepada sahabat-sahabatnya, dan kepada umatnya hingga akhir zaman. Semoga kita mendapat syafa’atnya di Yaumul kiyamah nanti, Amin.
Pertama-tama kami mengucapkan terima kasih kepada dosen yang dengan kegigihan dan keikhlasannya telah membimbing kami sehingga kami bisa mengetahui sedikit demi sedikit apa yang sebelumnya kami tidak ketahui pada materi ini. Juga tak lupa teman-teman seperjuangan yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Makalah ini kami buat dengan sedemikian mungkin dan jika ada kesalahan dalam penulisan pada makalah ini, kami mohon maaf dan berharap serta memohon saran serta kritikan dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini kedepannya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Ciputat, 20 Maret 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................................................2
Daftar isi............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
- LatarBelakang..........................................................................................................4
- RumusanMasalah.....................................................................................................4
- TujuanMakalah........................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
- Ajaran-Ajaran Umat Islam Dalam Memajukan Umat Islam Menghadapi Tantangan Era Globalisasi............................................................................................................................5
- Islam dan KeIndonesiaan...................................................................................................11
- Tipologi masyarakat yang Islami, Modern dan berkepribadian Indonesia........................28
BAB III PENUTUP
- Kesimpulan............................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................33
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Pada zaman yang serba modern ini pengaruh-pengaruh dari agama sudah mulai memudar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pribadi yang bersifat keislaman sudah mulai ditinggalkan masyarakat Indonesia, karena pengaruh rasionalisasi teknologi saat ini.
Hal inilah yang mengharuskan haluan pendekatan keislaman dirubah dari yang kurang rasional menjadi pendekatan ilmiah, rasional tanpa harus lepas atau menyimpang dari nilai-nilai dasar keislaman itu sendiri. Hal ini dilakukan untuk mengembalikan pengaruh agama Islam di masyarakat.
Pengembalian keislaman ini adalah langkah awal dalam mengukuhkan pondasi keagamaan seseorang yang merupakan dasar dalam menghadapi modernisasi. Tidak hanya itu kaum agama khususnya Islam jua mempunyai peran penting dalam kehidupan kenegaraan Indonesia yang multikultural ini. Kemajemukan semacam ini harus juga diperkokoh sebagai ciri khas dan nilai-nilai luhur yang juga harus dihormati, baik dalam beragama maupun bermasyarakat.
- Rumusan Masalah
- Mengetahui nilai-nilai ajaran Islam dalam memajukan kehidupan umat Islam mengadapi tantangan globalisasi.
- Mengetahui apa saja yang akan dihadapi umat Islam untuk tetap tegar melawan arus globalisasi yang ada di Indonesia
- Tujuan Makalah
Setelah terselesainya makalah ini, kami berharap makalah ini bermanfaat bagi semua pihak untuk dapat lebih memahami dan menerapkan pribadi yang berwawasan keislaman, kemodernan dan keindonesiaan.
BAB II
PEMBAHASAN
- Ajaran-Ajaran Umat Islam Dalam Memajukan Umat Islam Menghadapi Tantangan Era Globalisasi
- Era Globaloisasi
Era dapat ditafsirkan “masa”, ”musim”, ”kurun”, atau pun,”lingkup waktu”, atau masa tertentu.Misalnya,satu abad,satu kurun,atau satu zaman.Globalisasi berasal dari kata global atau globe.Globe ialah bumi tempat hunian manusia,al-ardh.Kata global sering diidentifikasikan dengan kata internasional,yaitu hubungan antar bangsa atau antar negara (nations)1.Worldwide berasal dari kata world,yaitu dunia,disusul oleh the hereafter,yakni akhirat.Maka dikenal dengan istilah duniawi atau ukhrawi. Worldwide atau globalwide berarti selingkup atau seluruh bumi tempat barbagai bangsa berada.Regionwide adalah lingkup kawasan ,misalnya kawasan Asia,Timur Tengah,Eropa,Atlantik Utara,atau Asia Pasifik.Sedangkan nationwide adalah lingkup nasioanal atau senegara.Kadang-kadang disebut lingkup dalam negeri atau domestik2.
Menurut David Held dan Anthony Mc Grew tidak ada definisi globalisasi yang tepat yang disepakati bersama.Globalisasi dapat dipahami dalam pemahaman yang beragam sebagai kedekatan jarak, ruang, waktu yang menyempit, pengaruh yang cepat, dan dunia yang menyempit.Perbedaannya hanya terletak pada penekanan dan sudut pandang material, ruangan dan waktu, serta aspek-aspek kognitif dan globalisasi.Dan sudut pengistilahan, kata globalisasi sebenarnya masih mengalami problem karena relativitas serta subyektivitas pemakaian kata tersebut.Namun globalisasi secara sederhana dapat ditunjukan dalam bentuk perluasan skala, pengembangan wilayah, dan percepatan pengaruh dan arus dan pola-pola inter-regional dalam interaksi sosial3.
1 Prof.Dr.M.Solly Lubis,SH,Umat Islam Dalam Globalisasi,Jakarta:Gema Insani Press,1997,hal.46.
2Prof.Dr.M.Solly Lubis,SH,Umat Islam Dalam Globalisasi,Jakarta:Gema Insani Press,1997,hal.46.
3David Held dan Anthony Mc Gre, The Global Tranformation Reder, Malden: Blackwell Publisher Ltd., 2000, hal. 3.
Ahli ekonomi dan sosiologi Dr. Jalal Amin mengatakan, istilah ‘aulamah’ globalisasi adalah baru, namun fenomenanya cukup lama.Ia berkata, “maka kita memahami bahwa globalisasi adalah penyempitan jarak secara cepat antara masyarakat manusia, baik yang berkaitan dengan perpindahan barang, orang, modal, informasi, pemikiran maupun nilai-nilai. Sehingga tampak globalisasi bagi kita adalah sepertinya mengiringi perkembangan peradaban manusia4. Perkataan Dr. Jalal Amin di atas tampaknya mengarah pada Ta’aulamah bukan kepada ‘aulamah.Ta’aulamah adalah dampak atau pengaruh ‘aulamah (globalisasi) seperti kata ta’allum (belajar) masdar (akar kata) dari ta’lim (mengajar/pengajaran).Karena penyempitan jarak seperti yang dikatakan Dr. Jalal merupakan dampak bagi globalisasi itu sendiri.
Menurut Anthony Giddens bahwa sebagian aspek globalisasi diperdebatkan: bagaimana seharusnya istilah itu dipahami apakah istilah itubaru atau tidak dan apa konsekuensinya. Ada pula yang memandang bahwa globalisasi merupakan kelanjutan dari tren yang telah lama mapan, yaitu liberarisasi seperti dianut oleh kaum neo-liberal.Namun menurut Paul Rust dan Graham Thompson seperti dikutip oleh Giddens bahwa globalisasi merupakan kelanjutan fenomena ekonomi yang kini menuju pada arah global.Tetapi kedua pandangan di atas tidaklah merepresentasikan globalisasi secara utuh mengingat cakupannya sangat luas dan menggejala ke dalam berbagai sektor.Globalisasi pada kenyataannya bukan hanya tentang saling ketergantungan ekonomi, tetapi tentang transformasi ruang dan waktu yang berskala luas dalam kehidupan kita5.
Jadi, globalisasi mengandung arti menghilangkan batas-batas kenasionalan dalam bidang ekonomi (perdagangan) dan membiarkan sesuatu bebas melintas dunia dan menembus level internasional, sehingga terancamlah nasib suatu bangsa atau negara6.
4Ibid. hal. 22.
5 Anthony Giddens, The Third Way, Jakarta: Gramedia, 2000, hal. 32.
6 Yusuf Qardhawi, Islam dan Globalisasi Dunia, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, tt. hal. 22.
Globalisasi juga bisa berarti eliminasi batas-batas teritorial antara suatu bangsa dengan bangsa yang lain, antara tanah air yang satu dengan tanah air yang lain, antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain7.Hal itu terjadi dikarenakan adanya perkembangan secara pesat teknologi komunikasi, transformasi, dan informasi.Pada tataran konsep, globalisasi tidak bertentangan dengan Islam.Bahkan Islam sejalan dengan globalisasi karena Islam adalah universal dan “rahmatan lil ’alamin”. Globalisasi juga dapat berarti arah perkembangan atau kecendrungan untuk menyatukan gerak serta hubungan hidup bangsa-bangsa di dunia,di berbagai bidang kehidupan,yang didukung oleh sarana dan prasaranatertentu,terutama kemajuan teknologi informasi,komunikasitransportasi,bahkan ideologi.Maka dikenallah beberapa faktor global,seperti politilk global,ekonomi global,dan komunikasi global8.
Namun globalisasi yang terjadi akhir-akhir ini adalah globalisasi yang lebih merupakan konsep dan beranjak dari terminologi Barat.Globalisai pada yang terakhir ini, lebih mengarah pada pemaksaan hegemoni politik, ekonomi, sosial, dan budaya AS kepada dunia, khususnya dunia Timur atau dunia ketiga, dan lebih khusus lagi dunia Islam.Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam konsep versi Barat, globalisasi berarti “westernisasi dunia”. Konsep ini merupakan istilah santun bagi imperialisme gaya baru yang telah menanggalkan baju lama dan cara-cara kunonya, untuk memainkan hegemoni baru dengan payung istilah yang lembut, yakni “globalisasi”. Peluang Dan Tantangan Dalam Menghadapi Globalisasi
Memasuki abad XXI ini, dunia ditandai dengan pesatnya perkembangan dibidang komunikasi dan teknologi sehingga dunia telah menjadi komunitas global yang menyatu. Satu sama lain tak terpisahkan dan saling bergantung.
7 Yusuf Qardhawi, Ummat Islam menyongsong Abad 21 (Ummatan aina Qornain), Solo: Era Intermedia, 2001, hal. 301
8Prof.Dr.M.Solly Lubis,SH,Umat Islam Dalam Globalisasi,Jakarta:Gema Insani Press,1997,hal.46.
2. Peluang Ekspor
Ekspor membuka peluang pasar baru di luar negeri. Ini tidak hanya berlaku bagi pengusaha-pengusaha besar, tetapi juga pengusaha kecil di pedesaan. Modal
1. Peluang Pasar Bebas
Masing-masing negara akan berlomba-lomba menaikkan mutu dan menurunkan harga produknya di pasar internasional. Produk yang paling murah dan bermutu akan paling banyak dibeli. Ini menguntungkan bukan saja negara maju tetapi juga negara berkembang.
Pembangunan Kesalinghubungan dan kesalingtergantungan antarnegara memungkinkan Indonesia untuk meminta bantuan modal pembangunan dari negara lain.
3. Membuka Lapangan Kerja
Globalisasi memungkinkan berbagai perusahaan mancanegara beroperasi di Indonesia sehingga dapat menambah kesempatan kerja. Menambah Pendapatan Negara Pajak dari investasi asing dapat digunakan untuk membangun sarana dan prasarana masyarakat. Mengurangi Pinjaman Dengan meningkatnya pendapatan negara, maka peminjaman modal kepada negara lain akan berkurang. Tantangan Globalisasi Pasar Bebas Yang Timpang Banyak negara yang melindungi produk ekspor negaranya dengan memberikan subsidi dan bea masuk yang tinggi. Masih banyak juga negara yang melarang negara lain untuk memberikan subsidi dan bea masuk untuk berbagai produk negaranya, namun di lain sisi mereka memberikan subsidi terhadap petani di negaranya. Terancamnya Perusahaan Kecil Dengan modal yang besar, perusahaan multinasional dapat membangun pusat perbelanjaan yang mewah dan besar. Dengan jenis barang dan kualitas yang terjamin, serta ruangan yang nyaman, akan membuat masyarakat lebih senang berbelanja disana, sehingga mengancam pasar tradisional menjadi sepi pengunjung. Pelarian Modal Perusahaan multinasional sewaktu-waktu bisa memindahkan tepat operasi perusahaannya karena situasi politik yang tidak mendukung, banyak pungutan tidak resmi, pajak tinggi, dll, sehingga negara dapat kehilangan salah satu penyumbang pendapatan negaranya. Pengangguran Perpindahan tempat operasi suatu perusahaan internasional dapat menyebabkan para karyawannya kehilangan pekerjaan9.
9AliHanapiah2011http://alimuhi.staff.ipdn.ac.id/wp-content/uploads/2011/08/PELUANG.TANTANGAN.GLOBALISASI.pdf
4. Terancamnya Kaum Buruh
Perusahaan multinasional yang hendak beroperasi di Indonesia seringkali menuntut syarat-syarat tertentu agar biaya produksinya rendah dan keuntungannya melimpah. Salah satunya adalah syarat upah buruh yang rendah sehingga dapat merugikan kaum buruh
Menyikapi peluang & tantangan globalisasi bidang ekonomi mengembangkan akses pasar mengupayakan peningkatan arus investasi asing mengembangkan kerja sama teknik dan jasa ekonomi meningkatkan kualitas produk pengusaha kecil bidang politik meningkatkan kesiapan dalam segala bidang untuk menghadapi perdagangan bebas menegaskan politik luar negeri bebas aktif dan berorientasi pada kepentingan nasional meningkatkan solidaritas antar negara mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa menolak penjajahan memperkuat kelembagaan, sumber daya manusia, serta sarana dan prasarana umum. Bidang agama meningkatkan peran dan fungsi lembaga-lembaga keagamaan meningkatkan kualitas pendidikan agama melalui penyempurnaan sistem pendidikan agama bidang sosial budaya mengembangkan dan membina kebudayaan nasional bangsa indonesia memberantas secara sistematis perdagangan dan penyalahgunaan narkotika dan obat-obat terlarang bidang pendidikan meningkatkan kemampuan akademik dan kesejahteraan tenaga kependidikan meningkatkan kualitas lembaga pendidikan meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan meningkatkan disiplin nasional.
Globalisasi dapat pula dipandang sebagai sesuatu tantangan. Dalam konteks globalisasi sebagai tantangan merupakan cara pandang yang optimis, dimana memandang globalisasi sebagai suatau yang menantang. Sesuatu yang menantang mengandung makna bahwa sesuatu tersebut harus disikapi dan dihadapi dengan bebagai upaya dan strategi.
Globalisasi tidak bisaditolak atau dihindari, dia hadir seiring perkembangan peradaban manusia, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, yang harus dilakukan adalah menghadapinya dengan seksama, turut serta memainkan peran dalam setiap tantangan dan peluang yang tersedia. Salah satu faktor yang menentukan dalam daya saing suatu produk adalah mutu produk. Mutu merupakan bagian isu kritis yang menantang dalam persaingan global. Tantangan lainnya dalam menghadapi pasar dan persaingan bebas adalah bagaimana menciptakan sektor pertanian dan industri yang efisien, efektif, dinamis, dan berkelanjutan. Penyebarluasan teknologi dan inovasi yang terkait dengan sistem produksi, packaging, serta pemasaran10.
10AliHanapiah2011http://alimuhi.staff.ipdn.ac.id/wp-content/uploads/2011/08/PELUANG.TANTANGAN.GLOBALISASI.pdf
- Dampak Positif Dan Negatif Globalisasi Bagi Umat Islam
Dapak positifnya antara lain, informasi dari belahan dunia yang jauh dapat segera diletahui oleh manusia dibelahan dunia yang lain.
Manusia dengan mudah berkomunikasi, termasuk dapat dengan cepat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga merata di seluruh dunia.Di samping dampak positif, arus Globalisasi juga menimbulkan dampak negatif yang sangat perlu mendapatkan perhatian.
Adapun dampak negatifnya antara lain, ledakan informasi yang menguasai kehidupan manusia,yang mengusai media informasi, akan jadi penentu mempengaruhi masyarakat dunia. Pengaruh negative dari luar dengan leluasa masuk menusuk jantung rumah tangga kita, dan mempengaruhi sendi kehidupan masing-masing keluarga. Kehidiupan manusia semakin didorong individualistis, sangat menonjolkan hak individunya.Kehidupan beragama hanya diambil ritualnya saja, dan agama hanya dipahami hanya untuk aspek individual belaka.Dengan demikian, arus globarisasi itu dapat mengancam kehidupan apabila tidak waspada menghadapinya.
- Ajaran-Ajaran Umat Islam Dalam Menghadapi Globalisasi
Bagi Umat Islam, menghadapi arus Globalisasi ini merupakan tantangan, sekaligus sebagai peluang untuk dapat dengan cerdas, syiasyah, dan trampil memanfaatkan untuk Jihad ( berjuang sungguh-sungguh ) menyampaikan aspek-aspek ajaran Islam sebagai Rahmat Lil’alamien, memberikan kesejahteran bagi seluruh alam. Dalam menhhadapi tantangan arus Globalisasi, umat Islam perlu giat memperkokoh Benteng dengan memperkuat fondasi Aqidah, Syari’ah-Ibadah, Amaliah, dan Akhlaqul Karimah. Dengan fondasi ajaran Islam ini insyaAllah akan mempu menjadi filter dan punya daya tangkal terhadap arus negative Globalisasi atau arus popularitas zaman. Dengan memahami dan menghayati serta mengamalkan ajaran Islam dengan benar, akan mahir mengendalikan diri dan menyeleksi pengaruh arus Globalisasi, sehingga dapat selamat, dan justeru dapat memanfaatkannya sebagai sarana dakwah dan pengembangan Islam di dunia yang lebih luas.
Dalam rangka untuk menguatkan umat menghadapi arus Globalisasi, maka perlu dipahami dan dihayati ajaran Allah Swt. Dalam kitabullah Al Qur’an sebagai pedoman hidup manusia ini untuk menghadapi era globalisasi,antara lain :
Pertama, Umat Islam harus memperkuat Iman dan juga harus memiliki Ilmu Pengetahuan yang luas, sehingga Ilmu dan Teknologi yang tumbuh dan berkembang dilandasi oleh Iman yang kokoh, akan barokah dan mamfaat bagi kehidupan peradaban manusia11.
Kedua, Umat dapat mengamalkan konsep hidum manusia dalam mempunyai orientasi hidup yang jelas bahagia di akhirat, dengan mengupayakan berbuat baik dan bahagia sejahtera di dunianya.Bebuat kebaikan pada sesama manusia dengan amal sholehnya.Tidak membuat kerusakan di bumi12.
Ketiga, Memperkokoh Rumah Tangga Sakinah dengan landasan Cinta-Kasih-Sayang, membangun masyarakat yang Marhammah-Qoryatan Toyyibah ( tentram-damai ), berlandaskan Ta’awun atau gotong-royong. Kesemuanya itu saling menjaga, agar jangan sampai dirinya, keluarganya, dan masyarakatnya, terperosok dalam neraka11.
Keempat, Memperkokoh Istiqomah Umat Islam pada pengetahuan-pemahaman-serta mengamalan ajaran Islam, sehingga benar-benar Muttaqin (bertaqwa) dan sampai akhir hayat tetap dalam keadaan muslimin13.
Dengan demikian itu, Umat Islam akan tegar berani menghadapi arus Globalisasi, dan bahkan dapat tampil dengan mahir menggguna Ilmu-Pengetahuan & Teknologi sebagai sarana dan prasarana perjuangan dakwah-Amar makruf nahi mungkar, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan kehidupan umat manusia di seluruh dunia.
10 Q.S.Al-Mujadallah (58):11
11Q.S Al-Qoshos (28):77
12Q.S At-Tahrim (66) :6
13Q.S Ali Imron (3):102
B.Islam Dan Keindonesiaan
- Keindonesiaan
Dalam perjalananan Republik Indonesia selama 69 tahun, upaya memadukan keindonesiaan dan keislaman sungguh menarik perhatian. Penuh dengan dinamika dan masih terus mengalami proses.
Sejak sebelum pernyataan kemerdekaan, hubungan agama (Islam) dan negara (Indonesia) menjadi masalah pelik. Itu terlihat kalau kita menyimak persidangan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei hingga 22 Agustus 1945.
BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang dipimpin Bung Karno membahas dasar negara. Panitia kecil itu berhasil merumuskan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 yang menjadi Pembukaan UUD. Pada 18 Agustus 1945 Rancangan UUD itu rencananya disahkan dalam persidangan PPKI. Tetapi, pada 17 Agustus 1945 sore sekelompok pemuda yang mengaku mewakili umat Kristen dari Indonesia Timur mendatangi Bung Hatta menyampaikan aspirasi mereka.Mereka menyatakan, umat Kristiani tidak akan bergabung dengan Republik Indonesia yang belum berusia sehari. Sikap itu diambil karena Pembukaan UUD yang dikenal sebagai Piagam Jakarta di dalamnya mengandung kalimat "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Esoknya Bung Hatta lalu mengadakan pertemuan dengan sejumlah tokoh Islam yaitu Ki Bagus Hadikusumo, KHA Wahid Hasyim, Mr Kasman Singodimedjo, dan Teuku Mohamad Hasan membahas masalah rumit dan mendesak itu.
Berminggu-minggu para tokoh pendiri bangsa itu berdebat alot memilih Pancasila atau Islam sebagai dasar negara. Dan akhirnya musyawarah menghasilkan titik temu berupa dasar negara Pancasila dengan mencantumkan tujuh kata Piagam Jakarta pada sila pertama, dan kini hasil musyawarah itu ditolak pada hal esoknya harus disahkan.
Maka, langkah pertama memadukan Indonesia dan Islam berhasil dilakukan tokoh-tokoh IslamTerintegrasinya antara pemikiran keislaman dan keindonesiaan diatas titik temu Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang harmonis. Tidak terdapat kesenjangan anatara keislaman dan keindonesiaan, antara Islam dengan Pancasila, selaras dengan realitas sosial budaya bangsa Indonesia dengan ciri utama, kemajemukan dan perkembangan.
- Hubungan Islam Dan Keindonesiaan
Mengiringi krisis ekonomi tahun 1997-1998 dan kekecewaan para mahasiswa dan berbagai elemen bangsa atas rapuhnya moralitas dan hegemoni struktural dan kultural yang cenderung bersifat homogenisasi dan standardisasi regim Orde Baru, Indonesia seolah-olah memasuki babak baru sejarah memperbaharui keIndonesiaan. “Umat Islam” yang sudah majemuk sejak sangat lama secara orientasi keagamaan, budaya, bahasa, sosio-ekonomik, dan politik, pun bergerak lagi, memunculkan kemajemukan yang lebih terbuka dan vokal di ranah publik.
Sekarang, titik balik (turning point) sejarah itu sudah terlewatkan lebih dari sepuluh tahun, dan berbagai elemen masyarakat, termasuk yang menganggap diri mereka sebagai bagian dari umat Islam, masih terus mencari makna Islam di tengah keIndonesiaan, lokalisasi dan globalisasi: bagaimana menjadi manusia Muslim (being Muslim), dan menjadi manusia Indonesia (being Indonesian). Sebagian juga mencoba menemukan kembali (reinvent) identitas lokal: menjadi Jawa, menjadi Aceh, menjadi Papua, dan sebagainya.
Pencarian dan penegasan kembali berbagai identitas (agama, suku, bangsa, jender, kelas sosial, ideologi politik) berlangsung sebagai respons terhadap tantangan-tantangan baru. Dalam wacana global, ada citra umat Islam di Indonesia yang toleran, demokratis, dan akomodatif terhadap Budaya-budaya lokal, tapi di sini lain, sebagian umat Islam terlibat aksi kekerasan dan terorisme, memiliki dan menganjurkan ideologi kekerasan, dan masih terlibat dalam tindak pidana korupsi dan penyakit-penyakit moralainnya. Karena itu, upaya merekonstruksi hubungan Islam dan KeIndonesian yang bhineka itu tetap penting baik bagi sarjana maupun tenaga pendidikan, dan para pemimpin dan masyarakat luas.
- Keterkaitan Islam Nusantara Dengan Hubungan Islam Dan Indonesia
Agama (Islam) merupakan bidang yang dapat dibedakan dengan keindonesiaan dan kebudayaannya, tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama (Islam) bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkanperaturan indonesia, sekalipun berdasarkan agama dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Menurut Taufik Abdullah memang benar Islam sudah datang ke Indonesia (Nusantara-pen) sejak abad pertama Hijriah atau abad ke-7 atau 8 Masehi, tetapi baru dianut oleh para pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Barulah Islam masuk secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan politik pada abad ke-13 dengan berdirinya kerajaan Samudera Pasai14.
Menurut Azyumardi Azra, penerimaan mereka terhadap Islam lebih tepat disebut “Adhesi” daripada “Konversi”. Menurut Gus Dur, Islamisasi baru benar-benar terjadi pada abad ke-13 M dengan terbentuknya komunitas Islam di ujung utara Sumatera. Secara berturut-turut, Islam telah menyebar di pantai barat Malaka, pantai timur kalimantan, bagian utara Sulawesi, pulau utara Maluku, dan pantai utara Jawa.
Menurut Azyumardi Azra, penerimaan mereka terhadap Islam lebih tepat disebut “Adhesi” daripada “Konversi”. Menurut Gus Dur, Islamisasi baru benar-benar terjadi pada abad ke-13 M dengan terbentuknya komunitas Islam di ujung utara Sumatera. Secara berturut-turut, Islam telah menyebar di pantai barat Malaka, pantai timur kalimantan, bagian utara Sulawesi, pulau utara Maluku, dan pantai utara Jawa.
14FajarKurniantohttp://documents.tips/download/link/keislaman-dan-keindonesiaan_555081aa33311376f511af5i,diakses pada 24 Mei 2016,jam 11.30 WIB
Segenap gelombang Islamisasi ini terjadi dan memuncak pada pembentukan kerajaan-kerajaan Islam, sejak di Pasai, Perlak, Goa, Kerajaan Aceh, Demak dan Mataram. Keragaman wilayah yang diislamkan telah melahirkan keragaman corak keislaman yang membekaskan corak budaya Islam, hingga saat ini
Dua kekayaan manusia yang paling utama ialah akal dan budi atau yang lazim disebut pikiran dan perasaan. Di satu sisi akal dan budi atau pikiran dan perasaan tersebut telah memungkinkan munculnya tuntutan-tuntutan hidup manusia yang lebih daripada tuntutan hidup makhluk yang lain. Dari sifat tuntutan itu ada yang berupa tuntutan jasmani dan ada pula tuntutan rohani. Di sisi lain akal dan budi memungkinkan munculnya karya-karya manusia yang sampai kapan pun tidak akan dapat dihasilkan oleh makhluk lain. Cipta, karsa dan rasa pada manusia sebagai buah akal budinya terus melaju tanpa hentinya berusaha menciptakan benda-benda baru untuk memenuhi hajat hidupnya; baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Dari proses ini maka lahirlah apa yang disebut kebudayaan. Jadi kebudayaan hakikatnya tidak lain adalah segala sesuatu yang dihasilkan oleh akal budi manusia.
Agama (Islam) dan budaya yang ada di nusantara memiliki wilayahnya sendiri-sendiri, tetapi pada saat yang sama berhubungan secara tumpang tindih. Demikianlah agama dan budaya. Demikianpun budaya yang merupakan kreasi dan ranah kehidupan manusia. Ia tentu bukan agama dan tidak bisa ditempatkan sebagai agama. Namun independensi masing-masing agama dan budaya ini tidak menutup kemungkinan bagi manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya. Artinya, agama sebagai aturan normatif tentu bukan budaya. Tetapi pelaksanaan dan pengamalannya, dalam arti, penerapan aturan ke dalam realitas, tentu membutuhkan kebudayaan. 15
Agama (Islam) dan budaya yang ada di nusantara memiliki wilayahnya sendiri-sendiri, tetapi pada saat yang sama berhubungan secara tumpang tindih. Demikianlah agama dan budaya. Demikianpun budaya yang merupakan kreasi dan ranah kehidupan manusia. Ia tentu bukan agama dan tidak bisa ditempatkan sebagai agama. Namun independensi masing-masing agama dan budaya ini tidak menutup kemungkinan bagi manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya. Artinya, agama sebagai aturan normatif tentu bukan budaya. Tetapi pelaksanaan dan pengamalannya, dalam arti, penerapan aturan ke dalam realitas, tentu membutuhkan kebudayaan. 15
15FajarKurniantohttp://documents.tips/download/link/keislaman-dan-keindonesiaan_555081aa33311376f511af5i,diakses pada 24 Mei 2016,jam 11.30 WIB
Menurut Gus Dur memiliki dua pendekatan di dalam melihat Islam di Nusantara. Pendekatan pertama bersifat preskriptif, dengan melihat perspektif tertentu di dalam melihat Islam di Nusantara. Dari pendekatan Preskriptif ini lahirlah terma Islam Nusantara, yang perlu dibedakan dengan Islam di Nusantara. Islam Nusantara adalah corak keislaman yang khas Nusantara.. Dengan demikian, Islam Nusantara adalah corak keislaman yang terbentuk oleh Pribumisasi Islam, sementara Pribumisasi Islam merupakan mekanisme islamisasi yang khas di Nusantara. Dengan pendekatan preskriptif ini, Islam Nusantara akhirnya perlu dibedakan dengan “Islam Arab” yang merupakan corak khas Islam di Arab.
Pendekatan kedua, dekskriptif. Dalam pendekatan ini, Islam di Nusantara tersebar di berbagai wilayah geo-kultural yang beragam dan akhirnya membentuk pola Islamisasi dan corak keislaman yang beragam. Islam di Aceh bisa menjadi konstitusi Negara karena sejak awal Islam berkembang dari komunitas cultural hingga menjadi institusi kekuasaan. Hal ini yang berbeda dengan Minangkabau yang tidak memungkinkan hegemoni Islam sebab sejak awal terdapat hukum adat Minang yang mengakar di masyarakat. Di wilayah Goa dan Jawa situasinya hampir serupa, dimana tradisi mistik bertemu dengan tasawuf, sehingga Islam dan mistik lokal bisa berdampingan di dalam struktur kekuasaan. Tentu jawa yang dimaksud adalah jawa pedalaman, bukan jawa pesisir. Sebab jawa pesisir telah melahirkan corak keislaman sufistik yang memusat tidak di dalam kerajaan, melainkan pesantren. Melalui pendekatan deskriptif ini, menandaskan keragaman Islam, sehingga upaya menciptakan homogenisasi kultur Islam yang dilakukan oleh kaum fundamentalis, tentu bertentangan dengan realitas keislaman itu sendiri.
Pendekatan kedua, dekskriptif. Dalam pendekatan ini, Islam di Nusantara tersebar di berbagai wilayah geo-kultural yang beragam dan akhirnya membentuk pola Islamisasi dan corak keislaman yang beragam. Islam di Aceh bisa menjadi konstitusi Negara karena sejak awal Islam berkembang dari komunitas cultural hingga menjadi institusi kekuasaan. Hal ini yang berbeda dengan Minangkabau yang tidak memungkinkan hegemoni Islam sebab sejak awal terdapat hukum adat Minang yang mengakar di masyarakat. Di wilayah Goa dan Jawa situasinya hampir serupa, dimana tradisi mistik bertemu dengan tasawuf, sehingga Islam dan mistik lokal bisa berdampingan di dalam struktur kekuasaan. Tentu jawa yang dimaksud adalah jawa pedalaman, bukan jawa pesisir. Sebab jawa pesisir telah melahirkan corak keislaman sufistik yang memusat tidak di dalam kerajaan, melainkan pesantren. Melalui pendekatan deskriptif ini, menandaskan keragaman Islam, sehingga upaya menciptakan homogenisasi kultur Islam yang dilakukan oleh kaum fundamentalis, tentu bertentangan dengan realitas keislaman itu sendiri.
Islam nusantara sendiri yang memiliki unsur keindonesian saling memiliki keterkaitan yang simbiosis dan saling melengkapi antar keduanya. Sebelum Islam datang, di Indonesia sudah memiliki peraturan dan ciri khasnya tersendiri. Baru setelah Islam datang ke indonesia, Islam tidak menghilangkan budaya yang ada dan tidak menghilangkan total segala tatanan yang sudah terbentuk di Indonesia tetapi Islam ikut membaur dan menciptakan perpaduan yang sempurna antar tatanan lokal dan Islam.
Pada konteks selanjutnya, akan tercipta pola-pola keberagamaan (Islam) yang sesuai dengan konteks lokalnya, dalam wujud ‘Islam Pribumi’. ‘Islam Pribumi’ justru memberi keanekaragaman interpretasi dalam praktik kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah yang berbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal, melainkan beraneka ragam. Oleh karenanya, Islam Indonesia tidak kalah Islamnya dengan Arab Saudi, Iran, Sudan, Pakistan, dan negeri muslim lainnya. Atau dengan kata lain, pribumisasi Islam merupakan gagasan yang menandai suatu bentuk Islam Indonesia, di mana keberislaman secara inheren telah melekat dengan keindonesiaan.
Pada konteks selanjutnya, akan tercipta pola-pola keberagamaan (Islam) yang sesuai dengan konteks lokalnya, dalam wujud ‘Islam Pribumi’. ‘Islam Pribumi’ justru memberi keanekaragaman interpretasi dalam praktik kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah yang berbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal, melainkan beraneka ragam. Oleh karenanya, Islam Indonesia tidak kalah Islamnya dengan Arab Saudi, Iran, Sudan, Pakistan, dan negeri muslim lainnya. Atau dengan kata lain, pribumisasi Islam merupakan gagasan yang menandai suatu bentuk Islam Indonesia, di mana keberislaman secara inheren telah melekat dengan keindonesiaan.
Empat Orientasi Ideologis Hubungan Islam dan Keindonesiaan:
Pertama, “Islamization Yes, Indonesianization No”
Menurut kerangka hubungan Islam dan keIndonesian, setidaknya ada empat orientasi ideologis di tengah masyarakat Indonesia kontemporer.
Pertama : mereka yang berkeyakinan Islam itu satu dan Indonesia itu satu. Di antara mereka, ada yang berpendapat Islam dan Indonesia adalah dua identitas yang bertentangan, dan tidak ada persinggungan atau kesesuaian antara keduanya. Bagi kelompok-kelompok seperti Hizbut Tahrir (HT), Islam adalah wahyu Allah, sementara Indonesia adalah buatan manusia, yang meskipun lahir dalam konteks melawan penjajahan (kolonialisme dan imperialisme), tidak lahir atas landasan syariat Islam dan kekhilafahan (seperti yang mereka pahami)16.
16Persoalan “identitas”, jati diri, adalah perennial dan universal di semua masyarakat. Di Amerika Serikat, di Palestina, di Irak, di Iran, di Saudi Arabia, untuk menyebut beberapa saja, persoalan identitas mengenai “siapa orang Amerika itu”, “Siapa orang Palestina”, “Siapa orang Irak”, dan sebagainya, jauh dari selesai. Di Amerika, Samuel Huntington misalnya menulis buku Who are We?: The Challenges to America’s National Identity (New York: Simon & Schuster, 2005), dan berpendapat budaya nasional Amerika adalah Anglo-Protestant, dan imigrasi dari berbagai ras dan budaya merupakan tantangan yang bisa mengancam budaya nasional itu.
Namun, zaman sekarang, upaya itu redup dan harus dihidupkan kembali, bersamaan di belahan dunia lain. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengutip potongan-potongan sejarah Islam dan menafsirkannya untuk menunjukkan bahwa perjuangan menegakkan syariat dan khilafah Islam mereka saat ini tidaklah a-historis.Mereka, misalnya, mencoba menunjuk adanya hubungan Khalifah Usmani dengan sultan-sultan di Nusantara, adanya ancaman kolonial Belanda, termasuk melalui ordonansi-ordonansi seperti peradilan agama, perkawinan, pendidikan, guru, sekolah liar, yang menghambat perkembangan Islam di Nusantara.
Indonesia bagi mereka sekedar tempat dimana syariat Islam dan khilafah sebagaimana yang mereka pahami harus ditegakkan.Mereka menolak UUD 45, Pancasila, Demokrasi, partai politik sekuler, dengan landasan keyakinan Islam sebagai ideologi satu-satunya yang tidak bisa digandengkan apalagi dinomorduakan dengan kebudayaan.Bagi mereka, Islam tidak bisa mengikuti perkembangan zaman dan tempat.Zaman dan tempatlah yang wajib mengikuti Islam. “Bukan dengan membuat interpretasi baru mengenai Islam agar sesuai dengan keadaan masyarakat,..karena di sana terdapat masyarakat yang rusak dan hendak diperbaiki dengan suatu ideologi (mabda) secara inqilabi (revolusioner).”17
Karena itu, Indonesia bukan Negara Islam, tapi Negara Kafir.Kebhinekaan diakui sekedar sebagai wahana dan wadah dimana ideologi Islam diwujudkan.Tidak ada nilai-nilai intrinstik yang positif dan konstruktif di dalam kebhinekaan Indonesia dan budaya umat manusia.Tidak ada korelasi positif antara Islam dan keIndonesian.
17 Taqiyuddin an-Nabhani, Mafahim Hizbut Tahrir (edisi Mu’tamadah), terj. (Jakarta: Hizbut TahrirIndonesia, 2004), hal.11.; Muhamad Ali, “Hizbut Tahrir Indonesia” (the Party of Liberation Indonesia). Editor(s): Henry Schwarz. Blackwell. Blackwell Encyclopedia of Postcolonial Studies, akan diterbitkan 2012.
Kedua: “Islam First, Indonesia Second”
Sebagai orientasi ideologis kedua, ada kelompok yang terlibat dalam proses demokratisasi di Indonesia, yang memperjuangkan Islam sebagai sistem yang komprehensif namun dalam konteks Indonesia yang majemuk secara budaya, agama, dan ideologi. Partai-partai politik “Islamis”seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai-partai lain yang segagasan dengannya, mengutamakan Islam sebagai sistem yang paling baik dan paling benar, namun berjuang mewujudkannya dalam konteks falsafah Negara Pancasila, UUD 45 (dan hasil amandemen) dan peraturan-peraturan lainnya.Namun demikian, mereka memahami konstitusi dan falsafah ini bukan sebagai prioritas utama
Mereka sering menggunakan teori konspirasi Zionis dan AS yang memerangi Islam18..Mereka setuju dengan toleransi beragama dalam bidang-bidang sosial, ekonomi, dan politik, bukan pada persoalan aqidah dan ibadah.Melalui politik sebagai dakwah, mreka berusaha menyebarkan Islam sebagai rahmatan lil-alamin.Bagi mereka, pendidikan (tarbiyah) Islam yang komprehensif (Islam Kafah) dan anti sistem jahiliyyah tidak menjadikan “Indonesia” dan kebhinekaan sebagai sumber nilai yang konstruktif bagi Islam dan keberIslaman. Program utama mereka, adalah Islamisasi Indonesia, bukan Indonesianisasi, lokalisasi, atau diversifikasi Islam.19
Mereka memformulasikan nilai-nilai moral yang Islamseperti keadilan dan kesejahteraan, namun menafsirkannya dalam kerangka Islam sebagai jawaban (Islam huwa al-hal).Hubungannya dengan kelompok lain, mereka memiliki slogan “Yakhtalitun walaakin yatamayyazun” (mereka bercampur/bergaul dengan kelompok-kelompok lain, tapi mereka memiliki identitas yang membedakan).Muatan tarbiyyah mereka adalah tauhid, akhlaq dan fikrah.
18 Irwan Prayitno,”Al-Ghazw al-Fikri”, Kepribadian Dai (Bekasi: Pustaka Tarbiatuna, 2003), hal.3-4, dalam Greg Felly and Virginia Hooker, eds, Voices of Islam in Southeast Asia: A Contemporary Sourcebook (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2006), hal.438-439.
19 Lihat misalnya, Yon Mahmudi, “Islamising Indonesia: the Rise of Jemaah Tarbiyah and the Prosperous Justice Party (PKS)”, tesis Ph.D, Faculty of Asian Studies, Australian National University, Canberra, July 2006.
Mereka pun membiasakan pemakaian istilah-istilah Arab, seperti ikhwan dan akhwat, siyasah, iqtisad, hizb, musyarakah,maisyah, murabbi, mutarabbi, halaqah, dan usrah. Terhadap formalisasi syariat Islam, PKS melakukan perjuangan bertahap: mereka melakukan dialog dengan kelompok-kelompok lain, termasuk non-Muslim mengenai konsep dan esensi syariah: menegakkan keadilan dan kesejahteraan. Secara prinsip, PKS mengakui eksistensi penganut agama-agama lain sebagai ahlu dhimmah, dan memvisikan jaminan kebebasan beragama dan hak-hak sipil mereka, seperti dicontohkan Piagam Madinah.20
Dalam hal penekanan dan strategi, PKS berbeda dengan HTI: PKS mengakui dan ikut proses demokrasi, menjadi partai politik, dan melakukan kompromi-kompromi pragmatis demi tercapainya tujuan Islamisasi itu. Sementara HTI bergerak di luar proses politik, menegasikankeabsahan sistem demokrasi, pemilihan umum, dan konstitusi serta peraturan-peraturan yang dihasilkannya. Bagi PKS, ada hubungan Islam dan keIndonesiaan:.Indonesia adalah bangsa besar dan majemuk dimana umat Islam menjadi bagian paling utama dan berhak memimpinnya. Namun demikian, baik HTI maupun PKS, pada prinsipnya menempatkan Islamic umma first and formost. Mereka tidak menganjurkan kekerasan fisik, menolak terorisme, meskipun mereka kerap melakukan demonstrasi damai menyuarakan kepedulian mereka terhadap isu-isu global
20 Lihat. Yon Mahmudi, “Islamising Indonesia: the Rise of Jemaah Tarbiyah and the Prosperous Justice Party (PKS)”, tesis Ph.D,.
Ketiga: “Formalistic Islam No, Substantive Islam & Indonesia, Yes”
Orientasi ideologis ketiga, ada kelompok yang menyebut diri mereka “progresif”, termasuk mereka yang mengusung ide-ide liberalisme, pluralisme, dan sekulerisme, dalam pengertian yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai substansi Islam. Bagi mereka, Islam, keIndonesian, dan progresifitas saling mendukung.Bagi mereka, yang mengambil rujukan pada berbagai sumber baik klasik, pertengahan maupun modern, Muslim dan non-Muslim, Islam memiliki nilai-nilai universal dan nilai-nilai partikular.Mereka lebih mengutamakan nilai-nilai universal itu, seperti keadilan, persamaan hak, kesejahteraan, kesetaraan.
Bagi kalangan progresif, nilai-nilai yang universal bisa diterapkan dalam konteks Indonesia, dan setiap nilai universal dengan sendirinya adalah Islami, tanpa harus diberi label Islam. Nilai-nilai Islam bagi mereka bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah, dan sejarah serta dari tokoh-tokoh zaman dan tempat yang terus berkembang, memberikan tempat terhormat bagi akal pikiran yang kritis terhadap sumber-sumber itu.Mereka menolak teokrasi, mempromosikan ide-ide demokrasi, hak-hak minoritasnon-Muslim dan Muslim, hak-hak perempuan, dan kebebasan berpikir.21
Bagi sebagian kalangan mereka, seperti yang tergabung dalam Jaringan Islam Liberal (JIL), syariat Islam itu sudah liberal dan liberatif asalkan dipahami secara tepat dalam konteks ruang dan waktu Indonesia. . Berbeda dengan HTI dan PKS, JIL dan kalangan yang seide dengan mereka, melakukan kritik terhadap cara pandangan keIslaman yang menurut mereka kaku dan tertutup dan anti pemikiran dan penafsiran rasional dan progresif.
21 Lihat antara lain, Charles Kurzman, ed., Liberal Islam: A Sourcebook (New York & Oxford: Oxford University Press, 1998); Abd Moqsith Ghazali, ed., Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan Keberagamaan Yang Dinamis (Jakarta: Penerbit Jaringan Islam Liberal, 2005); Muhamad Ali, “the Rise of Liberal Islam Network (JIL) in Contemporary Indonesia”, American Journal of Islamic Social Sciences, 22,1, 2005, hal.1-27
Pendidikan karakter bangsa bagi kalangan progresif lebih merupakan penerjemahan nilai-nilai Islam dan agama-agama yang bersifat universal seperti keadilan, persamaan hak manusia, perdamaian, kasih sayang, dan kemajuan.Karena Indonesia sudah majemuk, maka Islam tidak bisa tidak kecuali berwajah majemuk, atau multi-kultural.umat.Islam.Sebagian mereka, Indonesia meskipun beragama, tidak memiliki sejarah Negara agama.
Baginya, dan bagi penulis dan aktifis progresif lainnya, keIslaman dan Keindonesian (dan bahkan kemanusiaan yang lebih luas dan global) tidak bisa dipisahkan, seperti telah dirumuskan Kiai Ahmad Siddiq, yang sering dikutip Abdurrahman Wahid dalam ungkapan “ukhuwwah Islamiyah, ukhuwwah wataniyyah, dan ukhuwwah basyariyyah. Di akhir kesimpulan modul ini, penulis menutup dengan kalimat “kaum Muslim di Indonesia berkewajibab untuk menerima Indonesia sebagai sebuah Negara-bangsa yang terdiri dari kelompok-kelompok agama yang berbeda.”22 .Menurut salah satu rujukan tulisan ini, “Islam tidak dapat dipisahkan dari kebangsaan, identitas orang Islam yang Indonesia dan orang Indonesia yang Islam.”23
Di sini pendidikan karakter bangsa, meski tidak secara eksplisit, berarti pendidikan yang berorientasi kemajemukan, dan bagi umat Islam, pendidikannya adalah pendidikan kemajemukan yang dilandasi nilai-nilai universal Islam, bukan semata-mata simbol-simbol dan bentuk-bentuk lahiriyah keagamaan.
Keempat: “Islamization Yes, Indonesianization Yes”
Orientasi ideologis keempat, dianggap “mainstream”, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dan masyarakat yang berkembang dari tradisi madrasah, pesantren, dan IAIN (termasuk UIN dan STAIN) dan PTAI lainnya.
22Ihsan Ali-Fauzi, “Kaum Muslim di Indonesia sebagai Bagian dari Ummah dan Bangsa”, hal.183.
23 Ahmad Suedy, “Keislaman dan Keindonesiaan Tak Bisa Dipisahkan”, Kompas, 17 Juli 2007, dalam Ihsan Ali-Fauzi, hal. 183-184
Kelompok “mainstream” di Indonesia yang sering disebut “moderat” itu memiliki jasa yang besar dalam pembentukan karakter masyarakatMuslim dan bangsa Indonesia.
Rumusan Muhammadiyah tahun 1959 “menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yan sebenar-benarnya”, menunjukkan tujuan ormas ini yang tidak berorientasi pada politik kekuasaan, tapi pada masyarakat. Secara umum, Muhammadiyah menjaga keseimbangan antara purifikasi aqidah dan dinamisasi mu’amalah, keuniversalan Islam dan partikularitas budaya lokal, sambil terus menitikberatkan visi dan misi dakwah dan pendidikan yang berpegang pada amar ma’ruf nahi munkar, yang “moderat”, “tidak radikal”, “membela bangsa”, “mempertahankan Pancasila, UUD 45, Bhineka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).”24
Buku Pedoman ini memuat Pandangan Islam tentang kehidupan, kehidupan Islami warga Muhammadiyah, mencakup kehidupan pribadi, kehidupan dalam keluarga, kehidupan bermasyarakat, kehidupan berorganisasi, berbisnis, berprofesi, melestarikan lingkungan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kehidupan dalam seni dan budaya. Buku Pedoman ini mengandung prinsip-prinsip nilai dan norma, aktual, memberikan arah, ideal, rabbani/ketuhanan, dan bersifat memudahkan (taisir). Dalam kehidupan beramasyarakat, Pedoman ini menekankan bahwa Islam mengajarkan agar setiap Muslim menjalin persaudaraan dan kebaikan dengan sesama seperti dengan tetangga maupun anggota masyarakat lainnya masing-masing dengan memelihara hak dan kehormatan baik dengan sesama
24Lihat Suyoto et al, Pola Gerakan Muhammadiyah Ranting: Ketegangan antara Purifikasi dan Dinamisasi (Jogjakarta: IRCiSoD, 2005); Muhamad Ali, “Gerakan Islam Moderat di Indonesia Kontemporer”, dalam Rizal Sukma & Clara Joewono, eds, Gerakan & Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer (Jakarta: Center for Strategic and International Studies, 2007), hal. 211
Muslim maupun dengan non-Muslim. Di tengah bermunculannya ormas-ormas dan komunitas-komunitas sosial keagamaan baru setelah 1998, Muhammadiyah dituntut melakukan reposisi identitas dan perjuangannya.Misalnya, Muhammadiyah dituntut menjaga jarak dari radikalisme agama, sambil terus meneguhkan dirinya sebagai agen Islam moderat. Secara lebih strategis Muhammadiyah harus menghadapi tantangan pluralisme, spiritualisme, demokratisasi, gerakan formalisasi syariat Islam, terorisme global dan regional, kekerasan atas nama agama, liberalisasi Islam, dan sebagainya.25
Kemudian, Nahdlatul Ulama, yang dianggap mewakili tradisionalisme Islam karena lahir dari kalangan ulama pesantren, mengemban visi dan misi keislaman yang berada di tengah-tengah dalam pengertian melestarikan teologi Ahlussunnah waljama’ah yang akomodatif terhadap budaya lokal, dibandingkan dengan Muhammadiyah yang lebih puritanistik.
Perjalanan NU sejak awal hingga sekarang bersifat kompleks dan dinamis, meskipun terus dianggap sebagai wakil Islam tradisionalis yang moderat. Secara khusus, NU lahir sebagai respons terhadap dua peristiwa besar: penghapusan khalifah oleh Turki dan serbuan kaum Wahabi ke Mekkah. NU lahir untuk mempertahankan tata cara ibadah keagamaan yang dikecam Wahabi ketika itu seperti berkaitan dengan kuburan, ziarah, doa tahlil, kepercayaan kepada para wali, dan semacamnya. NU juga harus hadir untuk menjaga mazhab Ahlussunnah wal-jama’ah dan mazhab fiqih Syafi’i yang sudah dianut banyak ulama dan pesantren di Jawa khususnya. NU pun harus memperbanyak pondok-pondok, madrasah-madrasah, mesjid, langgar, seperti halnya mengurus anak yatim dan fakir miskin, serta memajukan urusan pertanian.
25Lihat perdebatan hal ini di Mukhaer & Nur Ahmad (eds.), Muhammadiyah Menjemput Perubahan: Tafsir Baru Gerakan Sosial-Ekonomi-Politik (Jakarta: Penerbit Buku Kompas & STIE Ahmad Dahlan Jakarta, 2005).
Seperti terbaca dalam lambangnya, Muslimat NU meneladani metode dakwah Wali Songo atau Wali sembilan yang damai dan bijaksana tanpa kekerasan. Muslimat NU melaksanakan berbagai program dan kegiatan sosial, keagamaan, dan kebudayaan, khususnya yang terkait dengan pengembangan kaum perempuan NU dan umat Islam pada umumnya.
Dengan demikian, keislaman dan keIndonesian bagi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama tidak bisa dipisahkan, keduanya saling melengkapi dan menyokong, karena kedua ormas ini lahir di Jawa yang kemudian merebak ke seluruh daerah di nusantara dan bahkan ke luar negeri. Pendidikan Islam yang mereka kembangkan cukup berbeda dalam hal penekanan dan strateginya, namun orientasi keagamaan mereka tidak menegasikan keIndonesian. Keindonesian yang mereka bayangkan adalah paham kebangsaan yang memiliki nilai instrinsik positif dan konstruktif bagi kehidupan umat Islam yang relatif homogen di satu sisi (Sunni dan Syafii) tapi tetap bisa berdialog dengan kelompok lain seperti Syiah dan mazhab-mazhab lainnya, dan bahkan dalam banyak kesempatan juga dengan agama-agama lain baik di Indonesia dan maupun di manca Negara.
Maka, ketika banyak orang mereka menyuarakan dan mengadakan program pendidikan karakter, mereka sudah memiliki paradigma dan program konkrit, meskipun terus melakukan pembaharuan-pembaharuan. NU dan Muhammadiyah telah dan terus berjasa membangun karaketer umat Islam dan karakter bangsa, juga dalam hubungannya dengan penganut-penganut agama lain dan bangsa-bangsa lain pula. Dari paparan empat orientasi keagamaan dan visi pendidikan karakter yang mereka perjuangkan diatas, penulis menawarkan beberapa pemikiran hubungan yang dinamis antara keIslaman dan keIndonesiaan dalam rangka pendidikan karakter bangsa. Meskipun mereka berbeda, mereka umumnya memperhatikan pendidikan. Jika pendidikan karakter diartikan sebagai pendidikan akhlaq, atau pendidikan kepribadian (tarbiyah syakhshiyyah), maka mereka memiliki konsep-konsep itu, meskipun berbeda.
C.Tipologi Masyarakat Islam yang modern
- Tipologi
Pada dasarnya masyarakat Islami adalah sistem sosial yang tumbuh dan berkembang ataupun ditumbuhkan menurut nilai-nilai(values),akidah-akidah(principles),dan norma-norma yang Islami.Dengan kaya lain,manusia dengan cara hidup dan berkehidupannya harus menurut ajaran islam.Dilahat dari sudut budaya (tamaddun) dan sikap hidup (peradaban civilization),yang meliputi cara.rasa,dan karsa(daya pikir kreatif,sentimental,keinginan,dan aspirasinya),masyarakat itu dinamakan masyarakat Islami jika cara berpikir,cara mengendalikan sentiment dan menumbuhkan kembangkancita-cita dan tujuannya berdasarkan ajaran Islam,baik lahirlah maupun batiniah.Dilihat dari intensitas dan efektivitas pengahayatan dan pengalaman ajaran Islam,kehidupan masyarakat Islam itu mengenal gradasi atau peringkat,yakni: peringkat taqqiyah,peringkat ajadiyah,dan peringkat qiyan.26
Masyarakat Islami dengan peringkat taqiyyah adalah tingkat yang lebih tinggi,karena pada masyarakat taqiyyah itu ajaran islam berperan sepenehnya sebagai acuan dan pedoman hidup.Lahannya begitu subur untuk tumbuhnya kehidupan yang islami, terbuka sepenuhnya dengan penuh keimanan dan ketakwaan untuk menghayati (internalisasi) ajaran-ajaran islam. Jika ajaran islam itu di ibaratkan sebagai curahan hujan, maka masyarakat taqiyyah merupakan lahan yang tipe tanahnya cukup mesra menyerap ajaran-ajaran islam.27
Pada masyarakat ajadiyb, tipe tanah lahan itu tidak begitu terbuka untuk menerima dan menyerap ajaran islam, meskipun disana-sini terdapat bagian-bagian yang pori-porinya masih terbuka untuk menyerap agama islam.Pada masyarakat qiy’an, sifatnya sudah mutlak menolak, seperti lahan dengan tanah padas yang licin dan tak sedikit pun ada lagi sifat absorbsinya terhadap ajaran agama islam.28
26Prof.Dr.M.Solly Lubis,SH. 1997. Umat Islam Dalam Globalisasi. Jakarta:Gema Insani Press.Hal:55
27 Ibid.hal:56
28Ibid.hal:57
Sementara masyarakat taqiyyah menerima ajaran islam secara menyeluruh dan sepenuhnya, completely, kaaffah. Bahkan menjadikan ajaran islam sebagai dasar filasafat dan ideologi untuk semua dimensi kehidupannya, baik kehidupan sosial politik, sosial ekonomi, maupun sosial budaya.Namun, pada masyarakat ajadiyb, disana sini kehidupannya masih berbaur dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip lain yang belum tentu sesuai dengan ajaran islam. Sedangkan pada msyarakat qiy’an , total berbeda dengan nilai-nilai dan ajaran islam.29
Kearah tipe mana suatu masyarakat akan tumbuh dan berkembang, tergantung pada kemungkinan-kemungkinan dan prasyaratnya. Yakni, antara lain :a). internal , yakni potensi dari dalam masyarakat sendiri. b). eksternal, yakni faktor-faktor peluang yang berupa faktor pendukung dan faktor penghambat dari luar. 30
Mempermasalahkan prasyarat (a) adalah mengingat perkembangan dunia masa kini, terutama perkembangan iptek dan manajemen, termasuk komunikasi. Potensi masyarakat islam itu memerlukan kecanggihan iptek, keterampilan manajemen, bahkan juga potensi modal, baik modal spiritual maupun modal material. Tanpa mnguasai iptek, bukan hanya pengetahuan agama, umat dan masyarakat islam tak mungkin mempertahankan eksitensi dan identitasnya, apalagiuntuk mengembangkan dirinya sesuai dengan perkembangan global dewasa ini dan yang akan dating. Tanpa menguasai fungsi-fungsi manajemen, baik teoritis maupun praktis, umat atau masyarakat islam tidak akan menjadi barisan yang teratur dan tertib, terencana dan kompak, apalagi untuk terkondisi dengan baik. Tanpa modal-modal spiritual dan material yang cukup, setiap manajemen akan kurang terdukung untuk mendapat peningkatan dan kemajuan31
29Ibid.hal:57
30 Ibid.hal:59
31Ibid.hal:60
Oleh karena itulah maka generasi penerus dan pembangun masyarakat islam harus dibekali dengan iptek yang islami, baik secara epismologis dan aksiologis. Masyarakat islam juga harus dibekali dengan penengetahuan dan keterampilan manajemen, dengan organisasi dan administrasi yang baik, bahkan harus memiliki kemandirian untuk membentuk faktor-faktor modalnya sendiri, baik spiritual maupun material.32
Untuk mengkondisikan tiga prasyarat itu, perlu kerja sama terpadu antara (a) potensi manajemen yang mempunyai wewenang dan wibawa, (b) potensi ulama dan cendekiawan muslim, (c) potensi hartawan dermawan (aghniya). Juga, yag tak kurang pentingnya, doa dari semua pihak, terutama kalangan yang lemah. Apapun pada unsur-unsur masyarakat umat itu, posisi mana yang dpilihnya untuk berfungsi dan berperan apakah sebagai umat, sebagai ulama, sebagai aghniya, atau posisi dan fungsi campuran.Padapokonya, masing-masing harus berpartisipasi, aktif, dan tidak sekedar penonton yang menumpang pada keberhasilan dan mengelak dari risko ketidakberuntungan perjuangan umat.33
Generasi penerus dan pembangun umat serta msayarakat islam itu juga harus jeli mempelajari masa lampau umat, jeli memantau dan mngevaluasi situasi masa kini, dan jeli melihat dan mngantisipasi masa depan dengan tatapan jauh ke masa yang akan dating. Ini tentu juga dengan perencanaan konseptual strategis.
Dalam konteks pembangunan masyarakat, generasi umat pembangunan itu harus menjadi generasi zamannya, dalam arti dipengaruhi oleh zamannya, sekaligus merekayasa masyarakat zamannya.Generasi umat itu harus dibangun, tetapi sekaligus turt aktif membangun.Generasi umat itu harus mampu berperan sebagai sutradara tetapi juga sekaligus sebagai aktor.Untuk kesemua peran ini, perlu dipenuhi tiga prasyarat yang telah dipaparkan diatas, yakni kemampuan iptek, kemampuan manajerial, dan kemampuan modal spiritual serta material. Juga perlu didukung bersama serta digotong-royongkan oleh semau potensi umara, ulama,aghniyadan dhuafa.
32 Ibid.hal:59
33 Ibid.hal:60
Dan ini memerlukan metoda pendekatan. Kemajuan dan kemunduran dalam mengkondisikan keterpaduan antara potensi-potensi itu, dan juga kemajuan dan kemunduran dalam mengandalkan prasyarat yang dimiliki, akan mementukan tipe masyarakat islami yang akan lahir dan terbentuk.
- Dimensi
Sebagaiman keadaan masyarakat umumnya, ataupun satu bangsa, atau suatu kelompok sosial adalah satu system, satu entitas, satu kebulatan, yang terdiri dari beberapa subsisten, beberapa komponatau unsur, dan disebut juga beberapa dimensi atau matra, yang satu sama lain bertalian erat, bahkan saling mempengaruhi. Masyarakat yang beragama islam itu juga mempunyai beberapa dimensi yang harus dilihat sekaligus secara global. Tatapi, dalam beberapa hal, ia juga harus dilihat secara satu persatu, dimensi per dimensi.34
1. Dimensi Manusianya
Mengenai dimensi manusia ini, yang dilihat ialah populasinya, baik secara kuantitas maupn kualitas, baik bobot fisik maupun bobot mentak-spiritual. Dalam hal ini dilihat kedalman pengetahuan agama: keimanan, ketakwaan, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), serta nilai-nilai sosial yang mengitarinya, yang bersifat menunjang dan menghalang pertumbuhan serta perkembangan untuk menjadi umat islam yang baik.35
2. Dimensi Lingkungan
Dlam hal ini, umat islam itu dilihat menurut lingkungannya yang meliputi masyarakat manusia lain yang ada disekitarnya, serta alam tempat ia berkediaman, hidup, dan berkehidupan sehari-hari, harus diperhitungkan faktor-faktor sosial dan alam yang mungkin mempengaruhi dirinya, baik yang sifatnya positif maupun negative. Harus diteliti, aspek kehidupannya yang mana pengaruh itu berlangsung.Apakah terhadap faktor fisik atau terhadap faktor rohaniah, spiritual, misalnya perkembangan mental religiositasnya36.
34Ibid.hal:61
35 Ibid.hal:62
36Ibid.hal:62
PENUTUP
- Kesimpulan
Globalisasi merupakan eliminasi batas-batas teritorial antara suatu bangsa dengan bangsa yang lain, antara tanah air yang satu dengan tanah air yang lain, antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain yang ada di Indonesia .Hal itu terjadi dikarenakan adanya perkembangan secara pesat teknologi komunikasi, transformasi, dan informasi. Umat Islam khususnya harus siap melawan arus globalisasi yang semakin kuat ini dengan berpegang tegung pada Islam dan pancasila yang merupakan dasar keindonesiaan karena keduanya berjalan beriringan.Pada tataran konsep, globalisasi tidak bertentangan dengan Islam.Bahkan Islam sejalan dengan globalisasi karena Islam adalah universal dan “rahmatan lil ’alamin”.
DAFTAR PUSTAKA
Feillard, Andrée. 1999. NU vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna terj. Lesmana. Yogyakarta: LKiS
Anwar, M Syafi’i. 1995. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru . Jakarta: Penerbit Paramadina
Prof.Dr.M.Solly Lubis,SH. 1997. Umat Islam Dalam Globalisasi. Jakarta:Gema Insani Press
Qardhawi,Yusuf. 2001. Ummat Islam menyongsong Abad 21 (Ummatan aina Qornain). Solo: Era Intermedia
ka,maaf itu yang ajaran" umat islam dalam menghadapi arus globalisasi tentang ayat di al-qurannya di footnote nya tlong diperbaiki lagi, karena aga rancu ka ..
BalasHapus